Indonesia berduka dengan adanya tragedi bencana dahsyat banjir bandang dan longsor yang terjadi pada bulan November 2025 di tiga provinsi (Aceh Sumut, dan Sumbar) di Pulau Sumatera, mengakibatkan korban tewas lebih dari 900 orang, korban hilang 392 orang, korban luka 5000 orang, dan kerusakan rumah sebanyak 156 ribu rumah. Penyebab utamanya adalah cuaca ekstrem dan penebangan hutan sembarangan di daerah hulu. Hal ini diperparah drainase yang buruk. Penebangan hutan mengakibatkan tanah tidak mampu menyerap air hujan yang begitu ekstrem sehingga tanah kehilangan daya kekuatannya dan akhirnya banjir bandang serta longsor tidak dapat dihindari. Kerugian total yang ditaksir meliputi kerusakan infrastruktur dan kerugian dari para korban, mencapai Rp 68, 67 triliun.
Pemerintah memutuskan bahwa status bencana banjir bandang dan longsor di Sumatera bukanlah bencana nasional dengan mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Alasan:
1. Pemerintah daerah berikut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) masih sanggup mengatasi bencana dan dapat berkoordinasi dengan baik. Hal ini diperkuat dengan kesanggupan dari Gubernur setempat dalam menangani bencana. Tetapi, pemerintah pusat berikut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan kementerian terkait tetap mengawasi dan membantu
2. Presiden sudah menetapkan status bencana tersebut dengan status prioritas nasional, bukan bencana nasional, sehingga koordinasi pihak berwenang dari pusat ke daerah tetap dilakukan dan pemerintah pusat tidak boleh pasif. Tidak segenting status bencana nasional, tapi tetap pihak berwenang harus mengerahkan kekuatan maksimal dan berkoordinasi satu sama lainnya
3. Jika dinaikkan statusnya menjadi bencana nasional, dikhawatirkan dapat menekan APBN (Anggaran Pengeluaran Belanja Negara). Hal tersebut berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi dan politik negara
4. Bencana Sumatera ini tidak sedahsyat tiga bencana yang pernah ditetapkan menjadi bencana nasional, yaitu gempa Flores 1992, Covid-19 tahun 2020, dan tsunami Aceh 2004. Sepertinya ketiga bencana tersebut menjadi patokan juga suatu bencana ditetapkan sebagai bencana nasional
5. Penetapan status bencana nasional menimbulkan risiko lain yang tidak disadari, yaitu kaburnya garis tanggung jawab, melupakan akar masalahnya, yaitu pengelolaan lingkungan hidup, memperbaiki salah kelola lingkungan hidup, dan menghukum pelaku perusakan hutan.
Dalam pasal 7 ayat 2 UU Nomor 24 Tahun 2007, indikator status bencana nasional meliputi jumlah korban kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana, dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. Sayangnya, indikator tersebut tidak menyebutkan angka pastinya sehinga berpotensi menimbulkan multitafsir.
Tidak semua pro dengan kebijakan pemerintah tersebut, banyak juga yang kontra:
1. Ada dugaan informasi seputar bencana ini belum diterima seutuhnya oleh Presiden, seperti informasi banyak daerah yang terisolasi, kondisi rumah sakit setempat yang tidak bisa digunakan, listrik terputus di daerah terdampak bencana yang terpencil, sampai lapas yang terendam lalu napi dilepas demi alasan kemanusiaan
2. Jumlah korban jiwa sudah sangat banyak, hampir 1000 orang berikut kerusakan mencakup tiga provinsi sudah layak dinaikkan menjadi bencana nasional
3. Status sebetulnya sudah layak menjadi bencana nasional tetapi akibat pertimbangan politik dan fiskal, utamanya alokasi anggaran pemerintah masih ragu
4. Dua kabupaten di Aceh, Aceh Tengah dan Pidie Jaya, telah menyatakan tidak sanggup menangani bencana. Apakah informasi seperti ini sudah diterima dan diperhatikan oleh Presiden?
5. Selama status belum dinaikkan menjadi bencana nasional, ada kekhawatiran pemerintah lambat dan kurang komunikatif dalam mengatasi bencana dahsyat tersebut. Seperti contoh, Gubernur setempat terlihat menanggung beban berat karena ada anak buahnya (kepala daerah setempat) yang dinilai kurang sigap dan kurang komunikatif dalam menangani bencana, bahkan sempat-sempatnya umrah yang hukumnya sunah, sementara menangani bencana dan masalah warga di daerahnya adalah wajib. Belum lagi beliau sempat berselisih paham dengan BNPB. Hal-hal tersebut bisa diminimalisir jika Presiden menaikkan status bencana menjadi bencana nasional.
Banyak desakan publik agar Presiden segera menaikkan status bencana Sumatera menjadi bencana nasional. Tapi, di sisi lain, Presiden tidak bisa sembarangan menaikkan status tersebut dengan melihat kondisi negara ini. Beliau harus mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti stabilitas ekonomi dan politik bangsa ini. Semoga solusi terbaik untuk negeri ini dan keadaan segera pulih kembali.
Silakan mampir juga ke blog saya yang kedua (tentang kesehatan dan kemanusiaan, full text english), ketiga (tentang masalah dan solusi kelistrikan), serta keempat (tentang hewan peliharaan). Semoga bermanfaat. Terima kasih. Berikut link-nya:
Blog 2: healthyhumanityvicagi.blogspot.com
Blog 3: listrikvic.blogspot.com
Blog 4: petsvic.blogspot.com


Menarik artikel yang netral dan berimbang antara pro kontra. pemerintah sekarang dilema, mungkin dia akan ambil kebijakan dengan risiko terkecil
BalasHapusTerima kasih. Ada benarnya pemerintah cari aman juga
HapusMuy interesante. Te mando un beso.
BalasHapusGracias
Hapus