All about Innovation💡, Law⚖️, Management📝, & Soccer⚽: Februari 2020

IWA

Senin, 17 Februari 2020

Konflik Hukum Pemulangan Eks Anggota NIIS

Pemerintah Indonesia dengan yakin memutuskan untuk tidak memulangkan Warga Negara Indonesia (WNI) eks anggota Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) atau istilah asingnya disingkat ISIS, yang jumlahnya sekitar 600 orang. Hal itu dilakukan setelah melihat respons penolakan masyarakat yang sangat khawatir jika dipulangkan akan membawa bibit-bibit kekerasan dan teroris baru, serta melukai orang-orang yang tidak bersalah. Bahkan, terakhir korbannya adalah seorang balita yang mengalami cedera cukup serius yang membutuhkan pemulihan yang lama😱.

Secara kemanusiaan, hal tersebut sangatlah tepat. Bagaimanapun kepentingan dan perasaan masyarakatlah yang harus diprioritaskan, bukan kepentingan kelompok tertentu. Lalu,  bagaimana menurut perspektif hukum? adakah konflik hukumnya? Menarik karena kasus ini tidak hanya berkaitan dengan hukum nasional, tetapi juga hukum internasional yang sangat mungkin bisa bertentangan. Saya coba telaah satu per satu:

1. Status kewarganegaraan 
- Para anggota eks NIIS menjadi bukan WNI karena mereka sendiri dengan kesadarannya melepaskan kewarganegaraan dan juga karena bertempat tinggal di luar wilayah Negara Republik Indonesia  selama 5 tahun terus-menerus bukan untuk tugas negara serta tanpa alasan sah. Hal ini diatur dalam pasal 23 Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. Di samping atas kesadaran sendiri, status kewarganegaraan dapat hilang jika secara sukarela tunduk pada dinas tentara asing/negara asing/bagian dari negara asing tersebut, serta memiliki paspor dari negara asing
- Konflik hukum pun timbul karena Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), organisasi internasional yang sering membahas kejahatan lintas negara, mempermasalahkan istilah dinas tentara asing/negara asing/bagian dari negara asing pada pasal 23 UU Nomor 12 Tahun 2006. Pasal tersebut tidak menjelaskan secara rinci bagaimana dengan NIIS, apakah termasuk dinas tentara asing/negara asing/bagian dari negara asing? PBB menyatakan bahwa NIIS adalah kelompok teroris/pemberontak, bukanlah kedinasan asing yang tunduk pada negara asing yang sah, sehingga pasal 23 bisa diperdebatkan. Solusi ya harus ada inisiatif dari presiden untuk segera merevisi UU Nomor 12 Tahun 2006, karena jika tidak, bisa menjadi celah eks anggota NIIS untuk melakukan gugatan hukum karena pihak NIIS masih menganggap diri mereka negara

2. Tetap dipulangkan tetapi diproses hukum dan deradikalisasi
- Mencegah mereka bergabung dengan kelompok baru di negara tujuan
- Mencegah mereka memaksa ke Indonesia lewat jalur ilegal
- Dua poin di atas berpotensi terjadi karena kurang pengawasan dari pemerintah Indonesia jika mereka dibiarkan terlunta-lunta di negara tujuan eks anggota NIIS
- Memperhatikan faktor kemanusiaan, khususnya nasib anak-anak dari eks anggota NIIS
- Dipulangkan tapi diproses hukum, deradikalisasi, & dibina secara khusus

3. Domisili eks anggota NIIS
- Hukum internasional melarang seorang manusia berstatus tanpa kewarganegaraan
- Masalahnya, jika eks anggota NIIS ini ditolak kembali ke negara asalnya, lalu ke mana mereka akan bertempat tinggal? Siapa yang mau menerimanya? Jika tidak ada yang menerimanya apa disebut melanggar hukum & Hak Asasi Manusia? Apa tidak akan timbul masalah keamanan global (tersangkut kasus hukum lain) yang membuat negara asal secara tidak langsung untuk ikut bertanggung jawab? Dilematis memang

4. Status pengungsi atau bukan?
- Ada yang berpendapat status hukum WNI yang bergabung dengan NIIS adalah pengungsi, tapi ada juga yang berpendapat sebaliknya
- Mengacu pada Konvensi Status Pengungsi 1951, pendatang yang berstatus sebagai pengungsi tidak boleh dikembalikan ke negara asal karena akan membahayakan keselamatan mereka
- Jika mereka menyalahgunakan visa dan dideportasi ke negara asal, maka negara asal tidak punya alasan untuk menolak mereka. Terlihat dengan jelas aturan ini berpotensi bertabrakan dengan UU Kewarganegaraan

5. Konflik kepentingan negara tujuan vs negara asal
- Eks anggota NIIS jika dibiarkan pulang ke Indonesia berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dengan negara tujuan eks anggota NIIS seperti Suriah, Turki, Irak, dan sebagainya, yang tentu saja memiliki hukum nasionalnya masing-masing. Bagaimanapun negara tujuan tadi juga punya hak untuk memutuskan nasib eks anggota NIIS
- Sikap Indonesia menolak kepulangan eks anggota NIIS ini cukup meredakan konflik kepentingan tersebut
- Perlu ada kerja sama hukum internasional yang lebih intens antara Indonesia dengan negara-negara tujuan eks anggota NIIS, terutama dalam memberantas terorisme dan kejahatan kemanusiaan lainnya

6. Menyeret negara-negara yang mendukung tumbuhnya NIIS
- Inilah akar masalahnya yang harus diberantas dan digugat ke Mahkamah Internasional. Dibutuhkan keseriusan, keberanian dan kerja sama negara-negara di seluruh dunia yang serius memberantas terorisme. Apalagi negara-negara pendukung NIIS memiliki power yang kuat
- Tidak hanya itu saja, status hukum eks anggota NIIS harus diperjelas di Mahkamah Internasional agar tdak menimbulkan konflik kepentingan antar negara dan perbedaan persepsi.

Terorisme memang menjadi masalah internasional yang harus diatasi secara bersama-sama oleh negara-negara yang benar-benar serius memberantas terorisme. Langkah tersebut sudah pasti akan mendapat gangguan dari negara-negara pendukung terorisme (secara diam-diam). Terobosan hukum internasional diperlukan untuk mengatasi terorisme, termasuk nasib eks anggota NIIS. Tentunya hukum nasional pun harus selalu di-update agar selaras dengan hukum internasional. Saya percaya, Indonesia termasuk salah satu negara yang sangat serius memberantas terorisme dan pemerintah  diharapkan mengeluarkan keputusan yang tepat untuk menyikapi nasib WNI eks anggota NIIS.

Sumber Foto: jalantikus.com. Pesan Moral Bahasa Sunda (Tulisan Berwarna Kuning) Ide dari Penulis Sendiri yang Artinya Jangan Ikut ISIS
 
Terakhir, artikel ini ditutup dengan kutipan menarik dari seorang peneliti terorisme, Dete Aliah: "radikalisme tidak bisa diukur dengan penampilan karena adanya di alam pikiran. Maka, cara mengatasinya harus menggunakan berbagai metode dalam jangka waktu yang lebih panjang". Jadi, tidak sebatas melalui pendekatan hukum semata, tetapi juga melibatkan bidang lain, seperti pendekatan agama, moral, psikologi, kejiwaan, ekonomi, kemanusiaan, dan sebagainya....

Sumber: Koran Kompas tanggal 15 Februari 2020, koran Pikiran rakyat tanggal 17 Februari 2020, https://www.cnnindonesia.com, dan https://kolom.tempo.co.

Silakan mampir juga ke blog saya yang kedua (tentang kesehatan & kemanusiaan, full text english), ketiga (tentang masalah & solusi kelistrikan), dan keempat (tentang hewan peliharaan). Semoga bermanfaat. Terima kasih. Berikut link-nya:

Sabtu, 01 Februari 2020

Kenaikan Serentak Cukai Rokok, Iuran BPJS Kesehatan, dan Tarif Tol Berpotensi Inflasi serta Melangggar Hukum

Secara ekonomi, kebiasaan pemerintah menaikkan tarif ini itu secara hampir bersamaan dapat mengancam pertumbuhan ekonomi. Di awal tahun 2020 saja, pemerintah sudah memberi "kado" tahun baru dengan menaikkan cukai rokok hingga 35 % di tingkat pengecer, iuran BPJS sebesar 100% bagi peserta bukan penerima upah, dan peserta bukan pekerta, serta tarif tol dengan kenaikan bervariasi. Di bulan Februari 2020, tarif tol dalam kota "latah" ikut-ikutan naik. Sebetulnya ada satu lagi yang ditunggu, tarif listrik akan naik kemungkinan bulan April 2020. Nah, dengan banyaknya tarif yang naik (sementara pendapatan masyarakat tidak ikut naik) tentunya harus dipikirkan (pemerintah) dampaknya, yaitu mengancam pertumbuhan ekonomi, melemahkan daya beli masyarakat, inflasi, biaya lain ikut-ikutan naik, dan berpotensi melanggar hukum.


A. Inflasi
Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suhariyanto, kenaikan cukai rokok akan berdampak pada inflasi. Apalagi, setiap tahunnya, rokok menjadi salah satu penyumbang inflasi terbesar. Untuk saat ini, rokok menyumbang inflasi sebesar 0,03 %. Sementara kenaikan iuran BPJS kesehatan tidak akan memengaruhi inflasi karena asuransi tidak termasuk dalam hitungan BPS. Terakhir, kenaikan tarif tol juga tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi karena hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat yang memiliki kendaraan maupun pengusaha travel (sumber: Koran Pikiran Rakyat tanggal 3 Januari 2020).

Dari pendapat di atas, jelas kenaikan cukai rokok yang paling memberatkan, karena menjadi faktor yang paling besar memengaruhi daya beli masyarakat. Tapi, uniknya, menurut pendapat Piter Abdullah, Ekonom Core Indonesia, dalam kondisi demikian, umumnya masyarakat Indonesia perokok aktif justru tetap mengejar kebutuhan rokok tersebut dan mengurangi belanja kebutuhan lain yang mungkin saja lebih penting🤔. Ibaratnya, memenuhi kebutuhan sekunder harus diutamakan dan dipenuhi (walau harga naik), kalau perlu kebutuhan primer yang dikurangi. Hal itulah yang sebetulnya semakin melemahkan daya beli masyarakat.

B. Hukum
- Menurut Ketua Lembaga Himpunan Konsumen Indonesia (HLKI) Firman Turmantara Erdipradja, kenaikan beberapa tarif harus berdasarkan kesepakatan dari dua pihak (apalagi ini serentak kenaikannya) berdasarkan  Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata tentang syarat sah perjanjian. Selama ini kenaikan selalu sepihak dan diumumkan mendadak tanpa ada dialog antara para pihak terlebih dahulu, bahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merasa dilangkahi dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Kalau sudah begini, yang jadi korbannya adalah rakyat
- Kebijakan kenaikan tarif secara serentak juga berpotensi melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Nomor 8 Tahun 1999. Dalam undang-undang ini secara tegas melarang klausula baku (pasal 18), yaitu aturan sepihak yang dibuat oleh pelaku usaha dan wajib dipatuhi konsumen tanpa dirundingkan dulu dengan konsumen. Klausula baku biasanya berkaitan dengan penolakan untuk bertanggung jawab atas kerusakan/kehilangan (biasanya berujung saling lempar tanggung jawab), dan yang dilakukan pemerintah saat ini, yaitu kenaikan tarif secara sepihak dan serentak
- Kebijakan kenaikan iuran BPJS secara signifikan juga berpotensi melanggar Undang-Undang Dasar 1945 dimana negara wajib memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kalau layanan kesehatan BPJS belum maksimal (terutama sistem antrean pasien dan menebus obat), tetapi iuran sudah minta naik kan sudah dua kali melanggar hukumnya...
- Class action (gugatan kelompok yang memiliki tuntutan hukum sejenis) sangat dimungkinkan dalam kasus ini.

Demikian artikel saya, selama ini pemerintah selalu sepihak menaikkan tarif ini itu dengan alasan keterbatasan anggaran, utang meningkat, dan salah pengelolaan (termasuk korupsi). Tapi, apakah aspirasi dari rakyat diperhatikan, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)? Apa tidak dipikirkan efek dominonya? Apakah pendapatan rakyat (terutama rakyat kecil) juga ditingkatkan? Kebijakan yang dibuat akan dipertanggung jawabkan di akhirat nanti. Tidak tanggung-tanggung, bukan bertanggung jawab ke satu orang, puluhan orang, atau ratusan orang, tetapi kepada lebih dari 267 juta penduduk Indonesia. Apalagi menurut finance.detik.com dan www.cnbcindonesia.com, dari jumlah tersebut, 115 juta penduduk Indonesia rawan jatuh miskin & yang benar-benar miskin sekitar 24,79 juta penduduk😢. Mereka inilah (kelompok yang 115 juta & 24,79 juta penduduk) yang nantinya paling aktif menuntut keadilan di akhirat nanti....Wallahu A'lam. Semoga saja lebih aspiratif, bijak, dan inovatif ke depannya, karena saya masih menaruh harapan dan kepercayaan terhadap pemerintah yang sekarang berkuasa😇.

Silakan mampir juga ke blog saya yang kedua (tentang kesehatan & kemanusiaan, full text english) dan ketiga (tentang masalah & solusi kelistrikan). Semoga bermanfaat. Terima kasih. Berikut link-nya:


Manajemen Puasa Ramadan yang Menyenangkan

Seringkali kita mendengar istilah manajemen yang merupakan salah satu jurusan perkuliahan di fakultas ekonomi, tapi kurang paham apa defini...