All about Innovation💡, Law⚖️, Management📝, & Soccer⚽: Desember 2019

IWA

Sabtu, 21 Desember 2019

Konflik Hukum Kasus Tamansari Bandung

Baru-baru ini, masyarakat Kota Bandung merasa terganggu dengan pemberitaan negatif kasus Tamansari RW 11 Bandung, yaitu kasus pembongkaran rumah warga (176 kepala keluarga) untuk dibangun rumah deret yang berujung konflik dan penggusuran paksa bagi warga setempat yang menolak. Tindakan represif aparat terpaksa dilakukan akibat diprovokasi oleh oknum warga yang melakukan pelemparan batu ke arah aparat yang mengakibatkan beberapa aparat mengalami luka-luka. Diduga oknum warga tersebut bukan warga asli setempat, melainkan warga luar yang ingin mengadu domba pihak-pihak terkait. Tapi, ujung-ujungnya warga asli setempat juga yang menjadi sasaran tindakan represif pihak aparat.

Saya lebih menyoroti kasus ini dari konflik hukum dari para pihak yang terlibat, yaitu dari pihak warga Tamansari RW 11 dan Pemerintah Kota Bandung dengan eksekutor Satpol PP Kota Bandung dibantu kepolisian setempat. Masing-masing pihak memiliki dasar hukum yang kuat namun berpotensi saling berbenturan. Konflik hukum tersebut meliputi:

1. Hukum dan HAM
- Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjadi dasar hukum setiap warga negara agar hak dasar/asasinya dilindungi. Jika ada satu saja haknya dizalimi oleh penguasa, maka bertentangan UU Nomor 39 Tahun 1999
- Diduga telah terjadi pelanggaran terhadap pasal 40 UU HAM yaitu hak untuk bertempat tinggal dan berkehidupan yang layak karena warga yang tergusur tidak memiliki lagi tempat tinggal
- Diduga telah terjadi pelanggaran terhadap pasal 36 UU HAM yaitu tidak boleh seorang pun dirampas hak miliknya dengan cara sewenang-wenang dan melawan hukum. Tindakan represif dan kekerasan jelas tidak dibenarkan walaupun aparat mengklaim akibat diprovokasi oknum warga, tapi yang dirugikan warga Tamansari RW 11 yang tergusur (videonya sempat viral dan wajib dicari akar masalahnya serta diusut tuntas)
- Juga mengacu kepada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara (sebagai dasar ideologi dan dasar filosifis negara, sehingga materi muatan perundang-undangan harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila) Hal tersebut harus diperhatikan penguasa setempat, terutama sila kedua (kemanusiaan yang adil dan beradab), sila keempat (kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan) dan sila kelima (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia). Sila kedua mencerminkan sisi kemanusiaan, sila keempat lebih kepada musyawarah untuk mencapai mufakat, dan sila kelima mencerminkan keadilan sosial. Dalam kasus ini, penggusuran paksa untuk pembangunan kembali rumah deret diduga kurang mengedepankan sifat manusiawi, cenderung sepihak dan tidak ada mufakat, serta tidak adil. Sehingga bertentangan dengan sila kedua, keempat, dan kelima Pancasila
- Membahas musyawarah untuk mufakat dalam kasus ini, tidak hanya warga setempat yang merasa tidak mencapai mufakat, tetapi juga Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penanganan Kawasan Kumuh merasa dilangkahi dan tidak diajak bermusyawarah. Seharusnya Pemkot Bandung harus berkonsultasi dengan pansus tersebut sebelum melakukan eksekusi. Apalagi tidak ada sosialisasi, uji publik, ahli yang didatangkan, dan kunjungan lapangan ke kawasan-kawasan kumuh di Bandung sebagai studi banding. Hal ini berujung protes keras dari pansus dan menyuarakan agar raperda ditunda saja (sumber: Koran Pikiran Rakyat tanggal 18 Desember 2019)
-Ironisnya Kota Bandung baru saja menjadi tuan rumah Konferensi Internasioanal HAM dan mendapatkan penghargaan sebagai Kota Peduli HAM (dalam rangka memperingati hari HAM sedunia 10 Desember) didasarkan pada kriteria terpenuhinya hak atas kesehatan, pendidikan, perempuan dan anak, kependudukan, pekerjaan, perumahan yang layak, dan hak atas lingkungan yang berkelanjutan. Dalam kasus ini, ada kriteria yang dilanggar yaitu hak atas perumahan yang layak. Menggusur paksa sebelum ada solusi yang disepakati adalah keputusan sepihak dari penguasa dan merugikan warga setempat. Warga pun seperti dalam kondisi tidak berdaya, padahal memiliki hak untuk menerima atau menolak, dan juga memberikan aspirasi
- Indonesia juga tunduk pada hukum internasional melalui ratifikasi/pengesahan Kovenan/perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2005. Dalam kasus ini, penguasa wajib memperhatikan hak-hak ekonomi (hidup layak) dan sosial (masalah penggusuran)

(Sumber: Koran Pikiran Rakyat tanggal 17 Desember 2019, artikel tentang Penggusuran vs HAM dengan penulis Melani, advokat dan dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan)

2. Hukum Pengamanan Aset Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung
- Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah jo. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah. Kedua aturan tersebut  menjadi dasar hukum penertiban aset milik Pemkot Bandung yang eksekusinya dilakukan Satpol PP Kota Bandung dibantu oleh kepolisian setempat
- Pengamanan aset Tamansari Bandung yang menjadi hak Pemkot Bandung sudah sesuai dengan PP Nomor 27 Tahun 2014 pasal 42 ayat 1 (pengelola barang, pengguna barang, dan/kuasa pengguna wajib melakukan pengamanan barang miliki daerah yang berada di wilayah kekuasaannya)  dan ayat 2 (pengamanan barang milik negara/daerah meliputi pengamanan administrasi, fisik, dan hukum
- Pengamanan hukum hak atas tanah Tamansari dilakukan oleh Pemkot Bandung dengan mengajukan permohonan sertifikat tanah ke Kantor Badan Pertanahan Kota Bandung dan sudah diterbitkan peta bidang tanahnya
- Sebelum penertiban, sudah ada musyawarah dan surat peringatan sampai tiga kali, tapi masih deadlock
- Aparat mengaku diprovokasi oleh oknum warga yang diduga bukan warga setempat, sehingga timbullah kekerasan fisik terhadap warga setempat
(sumber: cnnindonesia.com)
- Eksekusi yang dilakukan oleh Pemkot Bandung semakin dikuatkan dengan adanya penolakan gugatan warga Tamansari RW 11 oleh Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung dan membuat penggugat akan mengajukan banding. Hakim menilai tergugat tidak melanggar asas kepastian hukum dan kecermatan. Sebelum menerbitkan izin lingkungan, tergugat telah mengeluarkan analisis mengenai dampak lingkungan/amdal, Rencana Pemantauan Lingkungan/RPL, Rencana Pengelola Lingkungan (RPL), dan telah melakukan sosialisasi. Khusus sosialisasi terlihat bertentangan dengan pendapat pansus raperda tentang penanganan kawasan kumuh bahwa sosialisasi hanya ke beberapa orang saja
- Walikota Bandung, Oded Daniel bersyukur dengan putusan PTUN Bandung dan menghormati keputusan penggugat untuk banding. Namun, proses pembangunan rumah deret Tamansari dipastikan tidak akan terganggu dengan upaya banding tersebut dan pembangunan tetap akan dilanjutkan secara bertahap, dimulai dari membereskan urusan administrasi
(sumber: Koran Pikiran Rakyat tanggal 20 Desember 2019)
Ilustrasi Rumah Deret Tamansari yang Minimalis, Kekinian, dan Memanjakan Warga, Memprioritaskan Warga yang Tergusur, bahkan Diberi Bonus Gratis 5 Tahun, Baru Setelah Itu Bayar (Sumber: Balebandung.com)
Beberapa pelaku baik dari oknum aparat maupun oknum warga diperiksa oleh kepolisian setempat. Hasilnya 2 orang dari kepolisian dan 5 orang dari pihak warga masih ditahan sampai sekarang. Tentunya dalang intelektual dari semua ini juga wajib diusut. Di samping itu, Standard Operating Procedure (SOP) penertiban aset ini harus dievaluasi. Dalam hal ini, Wali Kota Bandung, Kasatpol PP Kota Bandung dan Kapolda Jabar baiknya memberikan klarifikasi agar tidak simpang siur.
Mall Baltos Bandung dan Masjid di Sebelahnya Berdiri Tegak tapi Terlihat Kumuh Akibat Porak Porandanya Rumah Warga Tamansari RW 11, Bukan Akibat Bencana Alam, Tapi Akibat Penggusuran Paksa...

Kesimpulan: menyikapi kasus tersebut, baik warga Tamansari RW 11 maupun Pemkot Bandung sama-sama memiliki dasar hukum yang kuat. Hanya harus diperhatikan bahwa posisi warga Tamansari RW 11 dan penguasa (Pemkot Bandung) harus seimbang dan setara, menganut asas persamaan di depan hukum. Pemkot Bandung memang memiliki kekuasaan, tapi harus memperhatikan keadilan sosial, aspirasi, dan hak asasi warga setempat agar tidak melanggar hukum yang lain. Kekuasaan harus digunakan untuk melindungi yang lemah, bukan menindas yang lemah. Sebelum mencapai kata mufakat, lebih baik ditunda saja dulu, jangan dipaksakan, nanti yang jelek penguasa setempat, termasuk aparat keamanan setempat. Penegakan hukum memang penting, tapi perhatikan juga sisi kemanusiaannya. Semoga saja ada solusi yang lebih bijak ke depannya. Aamiin😇

Demikian artikel saya, silakan mampir juga ke blog saya yang kedua (tentang kesehatan dan kemanusiaan, full text english) dan ketiga (tentang masalah dan solusi kelistrikan). Semoga bermanfaat. Terima kasih. Berikut link-nya:

Selasa, 03 Desember 2019

Harapan akan Inovasi BPJS Kesehatan

Kita semua tahu bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sedang mengalami persoalan defisit keuangan yang diperkirakan mencapai Rp. 32 T. Pemerintah merasa sudah membayar untuk 96 juta peserta menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), tapi di BPJS Kesehatan malah defisit, berarti memang ada yang salah kelola di internal BPJS Kesehatan itu sendiri.

Pemerintah begitu yakin dan sepertinya tidak punya solusi lain yang lebih bijak, elegan & inovatif selain memberi "kado" tahun baru 2020 berupa kenaikan iuran BPJS yang tidak tanggung-tanggung, yaitu sebesar 100 %😱. Seperti biasa, istilah yang digunakan adalah penyesuaian, padahal bilang saja naik, ini seperti istilah rasionalisasi pegawai (bilang saja PHK). Memang negara kita ini jagonya majas eufimisme untuk menghibur rakyatnya, tidak to the point😜.

Tapi, akibat kenaikan iuran yang signifikan adalah harus dipikirkan dampaknya, seperti banyaknya peserta yang turun kelas, bukankah malah menurunkan daya beli BPJS itu sendiri dan membuat target menutupi defisit mengalami penurunan? Lagi-lagi mengapa tidak disurvei dulu?

Akar masalahnya lainnya adalah kasus korupsi dan juga pengelola rumah sakit yang nakal dengan memanipulasi kategori layanan, tingkat kepesertaan aktif dari pekerja bukan penerima upah masih rendah (53,7 %), dan data yang  tidak valid seperti data ganda (sumber: money.kompas.com).
Sakitnya Sudah Berangsur Pulih, tapi Tiba-Tiba Kambuh Lagi & Muncul Penyakit Lain Akibat Stres Antre Kelamaan Saat Berobat ke Dokter dan Menebus Obat, eh Ini Ditambah Kenaikan Iuran 100 %. Ibarat Peribahasa Sudah Jatuh Tertimpa Durian Runtuh😜
 Tentunya, melihat kondisi tersebut, ada semacam keprihatinan dan harapan akan inovasi BPJS kesehatan ke depannya:
1. Ok, kenaikan iuran BPJS Kesehatan masih dapat diterima jika di kisaran 20-30 %, itupun setelah disurvei kemampuan para pesertanya. Ini kan tidak? Sepihak saja. Jadi, menurut saya, kenaikan 100 % hanya ingin cari gampangnya saja

2. Tuntaskan dulu kasus korupsi dan kecurangan pejabat (termasuk pengelola Rumah Sakit) di BPJS. Uang hasil korupsi wajib disita untuk menutupi defisit keuangan BPJS dan perlu dipublikasikan siapa yang korupsi dan berapa yang dikorupsi. Dengan adanya keterbukaan, publik akan bersimpati & memaklumi jika pada akhirnya iuran BPJS harus benar-benar naik untuk menutupi defisit yang besar, itupun setelah dikurangi uang hasil korupsi

3. Defisit BPJS Kesehatan sebaiknya dibantu (pinjam dulu) oleh saudara tuanya BPJS Ketenagakerjaan yang dinilai jauh lebih sehat keuangannya, memiliki investasi ratusan triliun rupiah (sumber: tirto.id). Masa sebagai saudara kandung tidak mau membantu🤪

4. Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang melibatkan 1800 auditor bahwa terdapat 27,4 juta ganda dan 6 juta yang fasilitas kesehatannya tidak jelas (sumber: Koran Pikiran Rakyat tanggal 16 November 2019). Jelas ini menjadi pemborosan yang sia-sia dan harus dituntaskan dengan cara mengaudit ulang dan memuktahirkan data para peserta BPJS tersebut. Jangan sampai peserta yang sudah meninggal bisa klaim😁

5. Pembayaran yang diterima pemerintah lebih diprioritaskan pada rumah sakit besar. Dengan demikian, pembayaran dari puskesmas masih belum optimal. Ini harus dibenahi agar pemasukan merata

6. Untuk peserta baru mandiri yang akan daftar harus diseleksi secara ketat, disurvei dulu, termasuk gaji, pekerjaan, tempat kerja, dan sebagainya. Jangan sampai malah menjadi penunggak baru. Jika diperlukan, sistem pembayaran terintegrasi langsung dengan rekening bank (sebenarnya ini sudah ada, cuma kok tidak konsisten) tetap diberlakukan, jika rekening bank-nya bermasalah (kurang saldonya) akan terdeteksi sejak dini

7. Fasilitas rumah sakit di daerah diperbaiki, sehingga tidak semuanya harus rujukan ke tingkat yang lebih tinggi. Selama ini kan ada kesan dikit-dikit ke pusat (rumah sakit tipe A), sehingga pasiennya membeludak, antrean terlalu lama, dan tidak terlayani dengan baik. Tapi, saya respek beberapa puskesmas ternyata sudah menyediakan rawat inap sehingga pasien bisa tertangani dengan cepat walau sifatnya sementara. Itu jauh lebih baik daripada menolak pasien akibat fasilitas tidak ada dan menyuruh ke tempat lain, padahal bisa saja kondisi pasien sedang kritis membutuhkan pertolongan pertama di puskesmas. Tapi, secara umum fasilitas rawat inap rumah sakit & puskesmas, berikut sumber daya manusianya sudah memuaskan👍🏻. Sebagai tambahan, ada rumah sakit daerah yang mampu mengobati penyakit pasien, fasilitasnya lengkap, tapi sayangnya hanya bisa diklaim 25 %, sisanya bayar sendiri, kalau ingin diklaim penuh, ya harus buat rujukan lagi untuk diobatin di pusat. Ke depannya jangan sampai pasien membeludak di pusat kalau benar-benar bisa ditangani di daerah

8. Setiap peserta BPJS baiknya memiliki database riwayat penyakit berikut rincian biaya yang harus di-cover, mulai dari biaya rawat inap, rawat jalan, dan menebus obat. Saya kira ini penting agar arus keluar masuk keuangan BPJS Kesehatan lebih transparan dan peserta pun menyadari (ada tanggung jawab juga) berapa besar rincian biaya yang di-cover pemerintah

9. Bagi peserta BPJS yang rutin bayar iuran tapi yang jarang bahkan tidak pernah di-cover BPJS, dalam artian selalu sehat, sudah pasti sangat membantu keuangan pemerintah dan BPJS untuk mengalihkan biaya subsidi ke peserta lain yang sakit. Tentunya, peserta yang sehat tersebut sebaiknya diberikan reward khusus, agar tetap loyal dan merasa iuran tersebut bukan suatu kewajiban yang memaksa, tapi kebutuhan, bahkan dianggap sedekah, yaitu pengalihan subsidi tadi, yang seharusnya buat dia, tapi karena sehat dialihkan ke peserta lain yang sakit

10. Penunggak iuran BPJS juga wajib dituntaskan dengan cara yang simpatik. Walau penagih utang penunggak iuran BPJS Kesehatan merupakan relawan terbaik, tetap harus dilatih agar tetap simpatik tapi tegas dan berwibawa, agar disegani si penunggak iuran BPJS Kesehatan dan jangan sampai yang ditagih lebih galak dari si penagih😁. Pastikan yang namanya seram dan kekerasan dijauhkan dari sistem penagihan. Tapi, baiknya juga didahului surat peringatan dan dibekukan dulu kartu kepesertaannya, baru kalau masih bandel ditagih oleh penagih. Saya kira itu jauh lebih elegan
Penagih Utang BPJS yang Direkrut Rencananya adalah Relawan yang akan Bertugas  Menagih Utang Dengan Menggunakan Cara-Cara yang Simpatik tanpa Kekerasan. Tapi, tetap saja, Konotasi Penagih Utang Identik dengan yang Seram-Seram, itu Tidak Bisa Dibohongi😁
11. Antrean Unit Gawat Darurat (UGD)
Sudah menjadi rahasia umum, saat pasien BPJS masuk ruang UGD, yang paling dibutuhkan adalah sabar, terutama sabar menunggu mendapatkan ruang rawat inap di tengah suasana yang super sibuk dan kondisi penuh pasien (saya pernah mengantar pasien harus menunggu sekitar 3 jam untuk mendapatkan ruang rawat inap, katanya segitu masih termasuk cepat🤔). Saat proses menunggu itulah, segala persyaratan administrasi BPJS harus diurus oleh keluarga pasien, belum lagi jika harus menebus obat keluar lingkungan rumah sakit akibat di apotek setempat tidak ada. Jika tidak diurus, dijamin tidak mendapatkan pertolongan pertama dan ruang rawat inap atau istilah kasarnya dibiarkan terlunta-lunta. Ke depannya harus ada inovasi pelayanan di UGD, waktu tunggu di UGD yang lebih singkat, senyum sapa salam petugas UGD, terutama dokter jaga UGD berikut koordinasi antar dokter jaga harus ditingkatkan. Saya tahu dokter jaga UGD (terutama yang shift malam) ini bekerja di bawah tekanan tinggi, lelah, kurang tidur, dan harus cepat mengambil keputusan, karena tanggung jawabnya besar, menjadi gerbang pertama mendiagnosis pasien. Salah ambil keputusan nyawa pasien taruhannya. Dalam kondisi demikian, maka emosi terkadang menjadi tidak terkendali, biasanya ramah menjadi mudah marah, serta jutek, tidak hanya kepada pasien dan keluarga pasien, tapi mungkin saja kepada rekan kerjanya, termasuk perawat. Dalam kondisi demikian, mereka pun harus berempati kepada pasien dan juga keluarga pengantar pasien yang juga lelah dan sudah bersusah payah membawa pasien dan memilih rumah sakit tersebut untuk diberikan pelayanan terbaik, diawali dengan senyum sapa salam. Tentunya harus ada pelatihan khusus untuk itu (melibatkan psikolog) dan jumlah dokter jaga UGD harus ditambah. Tapi, saya respek dengan petugas di bagian depan UGD yang umumnya begitu sigap membantu mengangkut pasien (yang tidak bisa berjalan) dari mobil ke kursi roda atau tempat tidur pasien. Di samping itu, alangkah lebih baik ke depannya ada info digital berupa jumlah pasien UGD dan rawat inap, berikut ketersediaan ruangan, kamar tidur pasien, dan durasi waktu tunggu pasien yang akan menjalani rawat inap tapi masih tertahan di ruang UGD

Memang Tidak bisa Dihakimi, tapi Sekali Lagi itu adalah Ulah Oknum. Sumber: Survei Toluna Indonesia

12. Rawat Jalan
Ada beberapa rumah sakit yang mulai menerapkan sistem antrean online (ada aplikasinya), itu bagus sekali. Sayangnya itu hanya berlaku untuk registrasi awal. Ketika daftar ulang berlaku dari nol lagi, dalam artian siapa cepat siapa yang berhak dilayani dokter. Saya pun pernah memanfaatkan fasilitas ini saat mengantar ayah saya berobat menggunakan BPJS, tapi karena datang agak siangan, ya saat daftar ulang ya termasuk lama dilayani. Datang jam 8.30, baru dilayani dokter jam 11-an. Itupun setelahnya harus antre obat lagi yang lamanya bisa lebih dari 2 jam. Ke depannya dibuat lebih ringkas lagi, misal dipisahkan ada jalur khusus online dan offline. Lalu untuk jalur online, dapat nomor antrean sekian, maka silakan datang jam sekian untuk langsung daftar ulang dan tidak menunggu terlalu lama

13. Antrean yang terlalu lama dalam menebus obat sebaiknya juga diperbaiki, karena bisa menimbulkan masalah baru, seperti stres, emosi, dan itu tidak baik bagi kesehatan setelah sebelumnya menunggu dilayani dokter. Saya pernah merasakan antrean (menggunakan BPJS Kesehatan) yang lebih dari 2 jam hanya untuk menebus obat di suatu Rumah Sakit Umum Daerah. Daripada menimbulkan masalah baru, lebih baik dibuat sistem penomoran digital yang bisa dicek di aplikasi. Misal menebus obat hari Senin pagi, maka obat bisa diambil 3 jam kemudian, dapat dicek di aplikasi. Pengambilan obat dapat diwakilkan asal ada buktinya, bahkan bisa diantar ke rumah lewat ojek online. Semoga ke depannya seperti itu, bahkan lebih inovatif lagi

14. Saya memanfaatkan BPJS untuk melakukan perawatan gigi/scaling gigi setahun 6 kali di puskesmas. Sayangnya, banyak orang yang belum tahu. Mereka tahunya kalau BPJS hanya meng-cover peserta yang sakit, termasuk sakit gigi, padahal untuk perawatan gigi pun bisa. Saya kira perlu ada sosialisasi agar banyak masyarakat yang tahu.

Demikian artikel saya. Ada usulan dari rekan mahasiswa agar BPJS dikembalikan sistemnya ke zaman dulu, di mana hanya mensubsidi peserta yang benar-benar miskin, dengan harapan defisit dapat tertutupi. Tapi, akan ada masalah baru dan protes dari kalangan mampu tapi tetap membutuhkan BPJS (terutama untuk pengobatan jantung dan kanker yang dianggap sangat mahal). Tapi apapun yang namanya solusi hendaklah memperhatikan aspirasi semua pihak, mulai dari dokter, pengelola puskesmas, dan pengelola rumah sakit yang bermitra dengan BPJS, dan terutama dari para peserta BPJS itu sendiri. Kalau hanya kepentingan direksi BPJS saja yang diperhatikan, itu namanya keputusan sepihak. Yang bagus dari BPJS katakan bagus, sementara yang kurang harus dikritisi dan diperbaiki. Semoga saja BPJS lebih baik ke depannya dan solusi yang diambil adalah solusi terbaik, bijak, dan inovatif🙂.

Demikian artikel saya, silakan mampir juga ke blog saya yang kedua (tentang kesehatan dan kemanusiaan, full text english) dan ketiga (tentang masalah dan solusi kelistrikan). Semoga bermanfaat. Terima kasih. Berikut link-nya:

Timnas Indonesia U-23 Menorehkan Sejarah Baru di Piala Asia U-23 2024

Tim nasional (timnas) sepak bola putra Indonesia level kelompok umur under 23 years old (U-23) berhasil menciptakan sejarah baru di Piala As...