Lampiran Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal dan terkait dengan investasi baru industri minuman keras (miras) yang menimbulkan kontroversi akhirnya dicabut oleh Presiden Jokowi setelah mendapat masukan berbagai pihak dan melihat unsur mudaratnya lebih besar daripada maslahatnya jika tetap diberlakukan. Namun, Perpresnya sendiri tetap ada, hanya bagian yang berkaitan dengan investasi baru industri miras dicabut. Perpres tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Lampiran Perpres Nomor 10 Tahun 2021 yang dicabut adalah Lampiran III poin 31, 32, dan 33 seputar lokasi penanaman modal industri miras:
Poin 31 Industri Miras Mengandung Alkohol
a. Untuk Penanaman Modal baru dapat dilakukan pada Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat
b. Penanaman modal diluar huruf a, dapat ditetapkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal berdasarkan usulan gubernur
Poin 32 Industri Minuman Mengandung Alkohol: Anggur
a. Untuk Penanaman Modal baru dapat dilakukan pada Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat
b. Penanaman modal diluar huruf a, dapat ditetapkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal berdasarkan usulan gubernur
Poin 33 Industri Minuman Mengandung Malt
a. Untuk Penanaman Modal baru dapat dilakukan pada Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat
b. Penanaman modal diluar huruf a, dapat ditetapkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal berdasarkan usulan gubernur
(sumber: https://jdih.setkab.go.id).
Dicabutnya lampiran Perpres tersebut ternyata tetap menimbulkan pro dan kontra, tidak bisa memuaskan semua pihak.
PIHAK YANG MENDUKUNG PENCABUTAN LAMPIRAN III POIN 31, 32, DAN 33 PERPRES NOMOR 10 TAHUN 2021
1. Langkah tersebut berdampak positif demi kepentingan yang lebih besar, yaitu masyarakat, khususnya anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Seringkali penyalahgunaan miras yang menjadi korban utama adalah anak-anak (sumber: Komisi Perlindungan Anak Indonesia). Gara-gara kecanduan miras, akhlak sebagian generasi muda menjadi rusak, mudah tersulut emosinya, senang bermaksiat, menyusahkan orangtua atau keluarganya, menjadi pintu utama tindak kejahatan lainnya, dan akhirnya menjadi sampah masyarakat. Dengan mencabut lampiran peraturan tersebut, berarti menyelamatkan generasi muda agar tetap cerah masa depannya, berakhlak baik, dan ikut berkontribusi membangun bangsa ini
2. Menurut ulama, mencegah kemudaratan lebih utama dari mengambil kemaslahatan. Memang harus diakui industri miras ini bisa meningkatkan sektor ekonomi sekaligus pariwisata daerah setempat. Dengan demikian, mengatasi pengangguran juga. Tapi, melihat akibat untuk jangka panjang bisa merusak akhlak generasi muda dan itu diutamakan untuk dicegah
3. Menurut Ekonom Bhima Yudhistira, hal tersebut sesuai dengan kebijakan cukai yang sedang gencar-gencarnya membatasi peredaran miras dengan cukai yang tinggi. Jika tidak dicabut malah bertentangan dengan aturan cukai
4. Menurut Anwar Abbas, Ketua PP Muhammadiyah, pencabutan lampiran Perpres tersebut menandakan pemerintah menerima masukan berbagai pihak dan sejalan dengan nilai-nilai Pancasila serta UUD 1945. Miras tidak hanya bertentangan dengan agama Islam, tetapi juga membahayakan dari segi kesehatan, moral, ekonomi, sampai sosiologis. Miras dapat menimbulkan masalah pada lingkup kehidupan keluarga, lalu merembet ke kehidupan masyarakat. Mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan pokok dan jatuh miskin akibat uangnya habis untuk mabuk-mabukan serta perbuatan maksiat lainnya
5. Menurut Ketua Umum Bamus Betawi Haji Lulung, pencabutan lampiran Perpres tersebut sudah tepat sehingga bisa terhindar dari tafsir yang negatif dari masyarakat di kampung bahwa pemerintah menghalalkan orang minum miras
6. Menurut Ekonom Indef Tauhid Ahmad, jika lampiran Perpres tersebut tidak dicabut, dikhawatirkan akan menambah beban tugas aparat penegak hukum, terutama berkaitan dengan tingkat kriminalitas yang dikhawatirkan semakin tinggi. Kita lihat bagaimana gerombolan penjahat yang terdesak secara ekonomi akan semakin nekat dan beringas melakukan aksi kejahatannya setelah menunggak miras. Bahkan, banyak pelaku kriminal yang menggunakan uang hasil kejahatannya untuk menunggak miras. Ketika tidak ada uang untuk membeli miras, maka mereka akan nekat melakukan kejahatan.
PIHAK YANG MENENTANG PENCABUTAN LAMPIRAN III POIN 31, 32, DAN 33 PERPRES NOMOR 10 TAHUN 2021
1. Di daerah tertentu, miras sudah menjadi industri lokal (UMKM) yang menjanjikan dan berkembang, bahkan menjadi unggulan sektor pariwisata daerah setempat. Jadi potensi ekonominya tinggi sekaligus meningkatkan pariwisata juga. Ujung-ujungnya pemasukan untuk pemerintah juga. Bali, misalnya terkenal sebagai penghasil arak Bali, NTT memproduksi minuman beralkohol bernama Sopi, sedangkan di Sulawesi Utara, Cap Tikus kerap diburu wisatawan (sumber: www.bbc.com). Ada kearifan lokal penduduk setempat juga. Ini ibarat industri petasan di Indramayu yang menjadi mata pencaharian penduduk setempat. Jangan sampai potensi mereka mati dan menambah masalah pemerintah. Dengan dicabutnya lampiran Perpres tersebut, menyebabkan lingkup wilayah pembuatan miras yang tadinya jelas menjadi abu-abu. Tentunya harus dicarikan solusinya
2. Di daerah tertentu, miras sudah menjadi industri lokal yang diperhitungkan dan diatur melalui peraturan daerah (perda) setempat. Ada kesan pencabutan Lampiran Perpres tersebut bertabrakan dengan perda tersebut. Seharusnya ada koordinasi antara pusat dan daerah
3. Aturan tersebut justru mengendalikan peredaran miras terutama yang diedarkan secara sembunyi-sembunyi
4. Munculnya kekurangpercayaan dari pihak investor, baik lokal maupun asing
5. Indonesia negara hukum dan terdapat keragaman agama serta kearifan lokal masyarakat setempat, tentunya harus diperhatikan aspirasinya
6. Menurut Pinkan Audrine, peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), adanya lampiran Perpres tersebut justru meminimalisir keberadaan miras oplosan yang bertentangan dengan standar produk.
SARAN
1. Ada masalah lain tentang miras, tidak terfokus pada Lampiran III Perpres poin 31, 32, dan 33 Perpres Nomor 10 Tahun 2021. Seperti aturan usia pengguna miras adalah minimal berusia 21 tahun (berdasarkan Perpres Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol). Faktanya, usia di bawah itu tetap saja ada yang mengonsumsi miras. Jadi, pengawasannya masih lemah. Belum lagi pengawasan terhadap minimarket, restoran, kafe, dan bar yang menjual miras serta ketahuan melanggar. Bagaimana sanksinya? Sudah sering kita mendengar berita kafe yang buka sampai dini hari lalu menjual miras menjadi sumber maksiat dan keributan yang meresahkan, bahkan ada pelakunya (pengunjung kafe) sampai melibatkan oknum aparat keamanan yang seharusnya mengayomi masyarakat. Senjata api yang dimilikinya malah disalahgunakan untuk membunuh warga sipil, bahkan sesama aparat keamanan akibat pengaruh miras. Tentunya pengawasan harus diperbaiki lagi
2. Poin 44 dan 45 Lampiran III Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang distribusi miras secara eceran seharusnya juga dipertimbangkan untuk dihapus mengingat peredaran miras di tingkat eceran tentu cukup mengkhawatirkan
3. Menurut pakar Hukum Tata Negara (HTN), Yusril Ihza Mahendra, idealnya harus diterbitkan Perpres baru yang menghapuskan lampiran tentang miras tersebut demi menjaga kepastian hukum.
Silakan mampir juga ke blog saya yang kedua (tentang kesehatan & kemanusiaan, full text english), ketiga (tentang masalah & solusi kelistrikan), dan keempat (tentang hewan peliharaan). Semoga bermanfaat. Terima kasih. Berikut link-nya:
Blog 2: healthyhumanityvicagi.blogspot.com
Blog 3: listrikvic.blogspot.com
Blog 4: petsvic.blogspot.com