All about Innovation💡, Law⚖️, Management📝, & Soccer⚽: Maret 2023

IWA

Rabu, 01 Maret 2023

Manajemen Berbasis Resor di Kawasan Konservasi Bukit Barisan Selatan

Pada tahun 2003, United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bergerak di bidang pendidikan dan budaya, menetapkan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung, sebagai salah satu klaster warisan alam dunia, dengan ciri khas hutan dataran rendah, pegunungan yang indah, habitat badak, gajah, dan harimau sumatra. Dengan ditetapkannya warisan alam dunia, maka secara tidak langsung kawasan itu menjadi "milik" dunia bersama dengan dua taman nasional di kawasan Sumatra lainnya yaitu Taman Nasional Gunung Leuser dan Taman Nasional Kerinci Seblat.


Selain harus dijaga integritas ekologisnya, situs warisan dunia dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan, di antaranya melalui pengembangan ekowisata. Selain menghasilkan pendapatan ekonomi bagi negara, ekowisata juga menguntungkan masyarakat melalui pengembangan ekonomi lokal. Ujung-ujungnya, kesejahteraan masyarakat sekitar dapat ditingkatkan. Semuanya harus terintegrasi secara seimbang, baik untuk pengembangan ekonomi lokal, warisan alam dunia, dan pengelolaannya kawasan konservasi.


Di Indonesia, amanat pengelolaan kawasan konservasi di taman nasional, dibebankan kepada Unit Pelaksana Teknis Kementerian Kehutanan yaitu Balai Besar Taman Nasional. Di tengah sorotan pengelolaan kawasan konservasi yang menyandang gelar warisan alam dunia, sehari-hari Balai Besar Taman Nasional Bukit masih harus berhadapan dengan tekanan perambahan, perburuan, pertambangan liar, dan pembalakan liar.


Sebagai unit pemangku kawasan terkecil, resor berada di barisan depan dalam pengelolaan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung. Petugas resorlah yang sehari-hari berinteraksi langsung dengan kawasan dan masyarakat sekitarnya. Untuk mampu membaca gelagat sosial, petugas resor perlu pasokan data sosial ekonomi serta bentuk interaksi masyarakat dengan kawasan. Untuk sistem informasi, perlu ada kesepakatan tentang aliran data, tugas, dan pembagian peran di setiap unit pengelolaan. Misal, untuk resor hanya bertugas patroli sambil membawa tally sheet (lembaran perhitungan). Analisis awal di kantor seksi, sedangkan kantor bidang dan balai bertugas mengelola input data menjadi informasi untuk nantinya diambil keputusan. Pengumpulan dan aliran data dengan pengarsipan data sudah terkomputerisasi dan menggunakan aplikasi khusus

 

Artikel ini menjelaskan apakah tata kelola di Bukit Barisan Selatan benar-benar berhulu dari lapangan dan bagaimana penerapan ke depannya, apakah ada inovasi baru, baik di Bukit Barisan Selatan  maupun di tingkat nasional?


A. Manajemen Berbasis Resor

Manajemen berbasis resor menjadi salah satu pendekatan yang digunakan Balai Besar untuk mengelola kawasan konservasi seluas 350 ribu hektare lebih. Resor, unit pengelolaan terkecil dalam struktur balai, menjadi ujung tombak di lapangan. Artinya, organisasi di tingkat resor, termasuk para petugasnya, harus berfungsi di lapangan, dan menjadi bukti kehadiran Balai sebagai pengampu kawasan. Pada hakikatnya, pengelolaan berbasis resor untuk melecut kesigapan dalam menanggapi segala dinamika di lapangan. Manajemen ini didukung oleh Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Sumatra dan Konsorsium UNIVERSITAS LAMPUNG (UNILA) - PUSAT INFORMASI LINGKUNGAN (PILI). Setiap kawasan resor dikelola oleh beberapa polisi hutan yang memiliki tugas utama melakukan patroli rutin. Masyarakat sekitar pun diajak untuk terlibat mengamankan taman nasional dengan menjadi mitra polisi hutan dan tentu saja ada pelatihan khusus bagi mereka yang ingin terlibat. Pembentukan kelompok pemuda pecinta alam merupakan inisiatif yang bagus untuk penguatan keamanan.


Untuk perlindungan satwa langka, maka pengelola begitu memperhatikan keberadaan satwa langka seperti harimau, badak, dan gajah. Ketiganya menegaskan peran penting Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dalam melindungi kekayaan hayati Sumatra. Sebagai contoh, untuk perlindungan badak Sumatra, dibantu oleh yayasan khusus seperti Yayasan Badak Indonesia (YABI) yang rutin melakukan pemantauan di Bukit Barisan Selatan mencatat bahwa badak berbulu ini memang tak mudah dijumpai, cenderung pemalu, dan sensitif. Badak ini relatif kecil berukuran 0,8 ton, bandingkan dengan badak Jawa yang berukuran sampai 1,2 ton.


Petugas berwenang yang bersentuhan langsung dengan masyarakat harus mampu membaca gelagat sosial ketika sebelum dan saat berinteraksi dengan masyarakat sekitar, dengan cara:

1. Menguasai ilmu dan teknik analisis mendapatkan pasokan data sosial ekonomi dan budaya

2. Mampu berinteraksi dengan baik terhadap masyarakat sekitar, didengarkan aspirasinya, dan tentu saja perlu diedukasi juga bahwa peran serta masyarakat dibutuhkan untuk menajga kawasan konservasi Bukit Barisan Selatan, bukan semata karena mereka bertindak karena  dibayar sebagai pekerja. Harus ada kerelaan dan pengorbanan di sini

3, Menguasai sistem informasi manajemen agar tanggap menerima informasi yang beredar di lingkungan sekitar untuk segera diolah dan disimpan dalam sistem yang terkomputerisasi.


B. Perusakan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

Sesuai takdirnya, alam sejatinya bisa memulihkan dirinya sendiri. Bila kerusakan kecil. hutan bakal cepat pulih. Itulah suksesi alami. Syaratnya, nihil dari gangguan manusia. Namun, bila benar-benar lantak, pohon dibabati, lalu dirombak menjadi kebun, pemulihan hutan akan berjalan lambat. Suksesi tersendat-sendat.


Balai Taman Nasional mencatat, dari analisis citra Landsat, terlihat penggundulan hutan yang memprihatinkan. Sampai tahun 2008, luas deforestasi (kehilangan tutupan lahan dan area hutan) mencapai  57000 hektare, sedangkan  pada tahun 2009 bertambah luas menjadi 61000 hektare. Penggundulan itu sebagian besar disebabkan oleh perambahan. Sedikitnya 16124 kepala keluarga telah merambah taman nasional. Pemukiman yang berada dekat dengan taman nasional membuat benturan dengan satwa liar tak terelakkan. Habitat satwa liar pun semakin menyempit dan memprihatinkan, tumbuhan untuk makanan mereka dirambah dan tempat hidup mereka pun semakin terbatas akibat terdesak oleh pemukiman penduduk. Perambahan terus saja dilakukan akibat keterbatasan lahan, dan desakan ekonomi.


Hal ini diperparah dengan jarangnya petugas yang hadir di lapangan. Pengelolaan lebih bersifat pengamanan dengan orientasi pada hasil proyek. Masyarakat yang terlibat ketika bertindak pun terkadang sifatnya bukan sukarela, melainkan diupah. Jarangnya kehadiran staf berbuntut panjang: aliran data dan informasi dari lapangan tidak ada.


Untuk mengatasi persoalan tersebut, semenjak Mei 2012, Konsorsium UNILA-PILI  dan Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan melakukan sosialiasi tentang penerapan manajemen berbasis resor, yang terbagi menjadi 4 resor model, Way Nipah, Biha, Pugung Tampak, dan Merpas. Empat resor model ini menjadi percontohan bagi resor lainnya.


C. Menyisir Potensi Resor

Di setiap resor, digelar survei keragaman hayati dan keadaan sosial masyarakat untuk mengetahui kekayaan, tantangan, dan dinamika mutakhir setiap resor. Hasil survei bakal menjadi fondasi bagi rencana pengelolaan resor yang menentukan setiap tindakan di lapangan. Rencana pengelolaan juga menjadi patokan dalam memantau dan mengamati dinamika ekonomi, sosial, dan ekologi kawasan resor.


1. Bumi perkemahan Kubu Perahu, berlokasi tepat di seberang kantor resor, yang dihuni sekitar 136 spesies avifauna. Salah satu jenis burung yang mengangkat pamir Kubu Perahu adalah tokhtor sunda. Burung ini termasuk daftar favorit para pengamat burung. Lalu terdapat sungai Way Asahan dan Way Sepapa. Dari Way Sepapa mengalir 2 air terjun yang khas. Daerah ini cocok untuk bumi perkemahan wisata dan pendidikan konservasi. Ada juga jasa penginapan rumahan yang dikelola warga setempat beserta Konsorsium UNILA-PILI. Tidak hanya wisatawan lokal yang tertarik, tapi juga asing, seperti mahasiswa Jepang tertarik dengan aktivitas warganya, terutama kaum perempuan yang memecah batu

2. Ragam Hayati Biha, berlokasi di Kecamatan Bengkunat, Lampung, dengan jalur 200 meter dari batas taman nasional. Kawasan ini dekat perbatasan berupa kebun campuran: kopi, damar, petai, durian, dan jengkol. Hutan di sini memiliki tumbuhan bawah dan liana, serta pohon besar seperti bunga loteh, jejahli, jambuan, dan simpur. Sungainya berbatu mengalir tidak terlalu deras, dengan lebar antara 3-4 meter. Sedikitnya ada 22 spesies satwa melata di kawasan ini, di antaranya ular hijau dan kura-kura. Daerah ini dihuni oleh penduduk yang umumnya senang bertani dan berkebun. Tidak heran, daerah ini menjadi salah satu lumbung padi di Lampung

3. Ragam Hayati Merpas, berlokasi di daerah Bengkulu, merupakan wilayah ekoton, peralihan hutan dengan kebun kopi. Vegetasi pohon yang umum: kayu cabe, tamberas, dan wedang. Penduduk setempat umumnya transmigran keturunan Jawa yang sudah lama berladang di daerah Lampung. Masing-masing warga memiliki lahan seluas 2 hektare, dibuat perladangan secara tumpangsari dengan cabai dan lada. Di samping itu juga digalakkan budidaya ikan tawar untuk meningkatkan ekonomi warga sekitar.

4. Ragam Hayati Way Nipah, berlokasi di Kecamaatan Pematang sawa, Lampung, merupakan pinggiran hutan, didominasi areal terbuka berupa kebun cokelat, semak belukar, dan sawah. Ada 116 spesies burung yang hidup di hutan Way Nipah, di antaranya burung cabak, capung merah, dan burung kutilang. Sebagian besar penduduk di sini adalah keturunan Jawa, berprofesi sebagai petani yang menanam padi gogo. Produksi beras dari desa ini masih rendah, karena hanya menanam jenis padi kering

5. Ragam Hayati Pugung Tampak, berada di wilayah yang terpecah-pecah antara hutan, kebun kopi, dan jalan. Kawasan ini terbelah oleh jalan raya antara Provinsi Lampung dengan Bengkulu. Masyarakat di sini umumnya pendatang dari berbagai daerah, yang sebagian besar dari Lampung Barat. Warganya dikategorikan menjadi masyarakat tetap dan pendatang (perambah) yang tidak diakui dalam administrasi desa. Menjadi perambah pun karena terpaksa akibat tidak memiliki lahan garapan dan  harus sering berhadapan dengan petugas Taman Nasional mengingat itu adalah bentuk pelanggaran hukum

6. Resor Sukaraja Atas, berada di wilayah Sukaraja, Provinsi Lampung, memiliki keunggulan program yang memanfaatkan jasa teknologi lingkungan taman nasional untuk masyarakat. Salah satunya adalah bergotong royong membangun pembangkit listrik pikohidro, untuk mendapatkan energi kinetik dari sungai yang mengalir. Di lokasi ini pula merupakan tempat terbaik pertumbuhan bunga Rafflesia Arnoldi. Jasa penginapan untuk wisatawan pun tersedia dengan melibatkan warga setempat (rumah inap milik warga). Jangan berharap mendapatkan kemewahan eksotis, melainkan hidup sederhana menikmati kearifan lokal dan alam sekitar bersama warga setempat. Tapi disitulah yang menjadi value dan membuat wisatawan penasaran.


D. Restorasi Hutan di Bukit Barisan Selatan

Di Desa Pesanguan, Provinsi Lampung, konsorsium UNILA-PILI menggelar restorasi hutan untuk kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Lokasi kampung ini memang strategis untuk menggelar restorasi hutan tersebut (berikutnya akan ada artikel khusus ini) dan perambahan masih banyak dilakukan oleh sebagian warga Pesanguan. Mengingat banyak perambahan, maka Desa Pesanguan dipertimbangkan untuk menjadi desa dampingan dan percontohan buat yang lainnya.

 

Restorasi hutan di Resor Way Nipah misalnya, dilakukan dengan tipe pengelolaan rehabilitasi lahan dan pemberdayaan masyarakat. Konsorsium juga mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat di Resor Balik Bukit dan Sukaraja Atas. Di sana, konsorsium menautkan resor dengan masyarakat, yang bersama-sama memanfaatkan jasa lingkungan taman nasional. Kendala utamanya adalah sebagian maasyarakat yang terlibat merasa itu adalah pekerjaan, bukan sukarela, sehingga setelah menanam, lalu dibayar. Kalau tidak dibayar, ya tidak mau terlibat.


Banyak hal yang mesti dipersiapkan dalam restorasi, seperti pembibitan sampai pemeliharaan. Untuk mencari bibit asli, kelompok berbekal daftar nama tanaman spesies asli Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Sedikitnya ada 122 spesies. Dari pendalaman data, kelompok menilih 16 jenis tumbuhan. Pemilihan itu juga menimbang kecepatan tumbuh tanaman yang akan ditanam di areal pemulihan. Sedangkan, pemeliharaan dilakukan dengan memasuki  lorong-lorong tanam. Anggota kelompok menyiangi, menyulami, dan memupuk. Pemberian pupuk tidak untuk semua tanaman, tetapi disesuakan dengan kondisi tanahnya. Seluruh anggota kelompok dibagi dalam regu yang sudah disepakati, dan biasanya perlu waktu 5 hari pemeliharaan pada setiap petak.



Sumber: 

Buku Membumikan Tata Kelola Taman Bukit Barisan Selatan, Karya Evi Indraswati, Nico Yolanda, Sunarni Widyastuti, Jhon Sarma Sipayung, Immanuel Kristianto, Novelina Tampubolon, Christine Wulandari, Afriansyah Gani, dan Meizannur, Tim dari PUSAT INFORMASI LINGKUNGAN INDONESIA (PILI) - GREEN NETWORK

 

Demikian artikel blog saya yang juga dibuat atas permintaan PILI GREEN NETWORK (terima kasih bukunya 🙏) untuk ikut berkontribusi menjaga lingkungan di Indonesia, khususnya kawasan konservasi Bukit Barisan Selatan, Lampung. Termasuk dalam hal ini menyebarkan informasi lewat tulisan yang bermanfaat bagi perbaikan lingkungan di kawasan Bukit Barisan Selatan, Lampung, ke depannya. Silakan mampir juga ke blog saya yang kedua (tentang kesehatan dan kemanusiaan, full text english), ketiga (tentang masalah dan solusi kelistrikan), serta keempat (tentang hewan peliharaan). Semoga bermanfaat. Terima kasih. Berikut link-nya: 


Timnas Indonesia U-23 Menorehkan Sejarah Baru di Piala Asia U-23 2024

Tim nasional (timnas) sepak bola putra Indonesia level kelompok umur under 23 years old (U-23) berhasil menciptakan sejarah baru di Piala As...