All about Innovation💡, Law⚖️, Management📝, & Soccer⚽: Desember 2022

IWA

Senin, 19 Desember 2022

Pro-Kontra KUHP Baru Indonesia

Indonesia patut berbangga memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru asli buatan Indonesia yang disahkan dalam rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tanggal 6 Desember 2022 menggantikan KUHP lama peninggalan Belanda yang dinilai sudah usang, ketinggalan zaman, dan sudah ada sejak tahun 1918. Walaupun sudah disahkan dan mendapat dukungan berbagai elemen masyatakat, tetap muncul pertentangan dari beberapa pihak yang kontra dengan pasal dalam KUHP tersebut.  Padahal, sebelum disahkan, pemerintah telah berupaya menampung aspirasi para pemangku kepentingan dari berbagai lapisan, profesi, dan latar belakang keilmuan dari seluruh wilayah di Indonesia. Ternyata masih belum memuaskan semua pihak.


Pendapat yang Pro:

1. KUHP baru ini mampu mengubah wajah hukum Indonesia, khususnya hukum pidana menjadi lebih baik, karena hukum pidana akan diberlakukan lebih adil dan tegas

2. KUHP baru ini lebih sesuai dengan kebutuhan zaman, khususnya kondisi bangsa saat ini, yang tentuya jauh berbeda dengan KUHP lama peninggalan Belanda dengan kondisi bangsa Indonesia dulu yang terjajah

3. Lebih detail mengatur masalah moral dan Hak Asasi Manusia (HAM). Hak asasi memang penting dan harus dihargai, tapi tetap saja harus ada batasnya agar menghargai hak oranglain juga melalui aturan yang berlaku agar moral dalam kehidupan masyarakat terjaga. Misal larangan perzinahan, kumpul kebo, dan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, serta Transgender), baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan di muka publik. Selama ini, agak sulit kalau hanya mengandalkan hukum sosial

4. Memiliki alternatif hukuman, dari pidana bisa diganti denda, ada kerja sosial, sampai terberat hukuman mati. Hukuman mati menjadi alternatif terakhir dan syaratnya pun berat. Dengan demikian, hukuman mati bukan lagi pidana pokok, melainkan pidana alternatif

5. Hukuman untuk koruptor memang lebih ringan, untuk tindakan melawan hukum memperkaya diri, dimulai dari 2 tahun sampai 20 tahun penjara dengan denda Rp. 20 juta sampai Rp. 2 miliar, bandingkan Undang-Undang (UU) tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi Nomor 20 Tahun 2001, dengan penjara minimal 4 tahun sampai 20 tahun dan denda Rp. 200 juta sampai Rp. 1 miliar. Panitian Kerja Dewan Perwakilan Rakyat (Panja DPR) berpendapat bahwa korupsi adalah kejahatan keuangan, sehingga jangan terlalu fokus pada hukuman penjaranya, melainkan pengembalian uang negara. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Baihuri, tidak mempermasalahkan hal tersebut, karena KPK memiliki undang-undang sendiri, yaitu UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di samping itu, hukuman pemiskinan yang harus diprioritaskan, karena pada dasarnya koruptor lebih takut dimiskinkan daripada dipenjara

6. Hukuman mati tetap diperlukan dengan syarat tertentu untuk melindungi masyarakat, khawatir jika tersangka hanya dipenjara malah mendapat ilmu, teman satu visi, dan pengalaman baru, dan tidak ada tanda-tanda berubah menjadi baik, sehingga setelah keluar penjara malah semakin mahir kejahatannya, membahayakan masyarakat, serta daya merusaknya semakin tinggi. Bisa dikatakan hukuman mati menjadi efek jera dan peringatan bagi orang yang akan melakukan kejahatan serupa

7. Diklaim sudah berupaya menampung aspirasi para pemangku kepentingan di Indonesia dengan berbagai latar belakang keilmuan, multietnis, dan multikultur

8. Sementara, aspirasi dari pihak asing menurut Wakil Menteri Hukum dan Ham (Wamenkumham), Edward Omar Sharif, tidak diperlukan, karena negara asing dan organisasi internasional antar negara tidak berhak mengintervensi hukum Indonesia, apalagi sampai mengancam menghentikan investasi. Seperti masalah kesusilaan saja, hukum dan adat di Indonesia berbeda dengan hukum di negara lain. Tugas menteri luar negeri untuk memperingatkan mereka yang akan mengintervensi. Kalau sebatas kritik membangun dan saran, silakan, tapi kalau sampai mengancam itu sudah tidak benar.


Pendapat yang Kontra:

1. Para aktivis menganggap KUHP baru ini justru mengancam kemajuan demokrasi, kebebasan berpendapat masyarakat, dan kebebasan HAM

2. Walau KUHP ini menyesuaikan dengan kebutuhan zaman, tetapi negara dianggap terlalu dalam mengatur hidup warganya yang membuat risih juga, apa-apa kok diatur, terutama masalah privasi. Ada hukumannya lagi kalau dilanggar

3. Dianggap terlalu dalam mengatur masalah HAM, karena itu berkaitan dengan privasi dan justru berpotensi melanggar HAM

4. Banyaknya alternatif hukuman menjadi celah bagi penjahat kelas kakap untuk berupaya dengan berbagai cara menghindari hukuman berat dan memilih hukuman teringan

5. Ancaman hukuman koruptor terlalu ringan, untuk tindakan melawan hukum memperkaya diri, diancam dengan hukuman penjara, dimulai dari 2 tahun sampai 20 tahun penjara dan denda minimal Rp 20 juta sampai Rp. 2 miliar. Hukuman ini lebih ringan dari Undang-Undang (UU) Tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi Nomor 20 Tahun 2001, dengan penjara minimal 4 tahun sampai 20 tahun dan denda Rp. 200 juta sampai Rp. 1 miliar. Ini menjadi celah bagi koruptor untuk menghindari hukuman terberat dan memilih hukuman teringan, itupun masih ada remisi nantinya

6. Hukuman mati masih berlaku dengan syarat tertentu. Tapi, ini menjadi masalah bagi pegiat HAM, bahwa hak hidup harus tetap ada bagaimanapun jahatnya seseorang. Bahkan menurut pengacara kondang Hotman Paris, hukuman mati ini dikhawatirkan  menjadi lahan basah Kepala Lembaga Permasyarakatan, karena dengan surat saktinya (surat kelakuan baik) bisa membatalkan hukuman mati yang sudah ditetapkan

7. Walau dianggap sudah menampung aspirasi para pemangku kepentingan di Indonesia, faktanya masih banyak yang belum puas, berarti belum menyeluruh dan diskusi tentang KUHP ini dirasa masih kurang dan mungkin eksklusif

8. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun merasa perlu mencampuri urusan dalam negeri Indonesia karena prihatin dengan beberapa pasal KUHP yang berpotensi melanggar HAM, mulai dari pembatasan akses aborsi, diskriminasi perempuan dan anak perempuan, diskriminasi agama atau kepercayaan, diskriminasi kelompok LGBT, larangan terhadap seks di luar nikah dan tinggal bersama, hingga kebebasan berekspresi, berkeyakinan, serta berserikat. Soal pasal tinggal bersama menurut PBB bisa saja dikaitkan dengan hukum adat dan hukum Islam, akibatnya bisa  merugikan kaum minoritas. Sementara, hukuman pidana 4 tahun akibat aborsi hanya menyudutkan dan membuat terpuruk kaum wanita yang menjadi pelaku. Di samping itu, juga bertentangan dengan standar internasional PBB yang sendang berupaya menegakkan kesetaraaan gender dan kesehatan wanita. KUHP baru ini juga berpotensi merugikan korban kekerasan seksual. Amerika Serikat juga ikut-ikutan menentang pasal KUHP tentang perzinahan dan LGBT. Di negaranya, hal tersebut merupakan bagian dari kebebasan individu yang dihargai. Akibat jangka panjang, Amerika Serikat mengancam untuk membatasi bahkan mengurungkan investasi ke Indonesia.

 

Saya sendiri berada dalam posisi netral saja, sebetulnya KUHP baru ini adalah inovasi hukum pidana kita yang ingin lepas dari ketergantungan pihak asing, lepas dari produk buatan Belanda dan ingin memiliki KUHP asli buatan Indonesia yang lebih kekinian dan disesuaikan dengan kondisi bangsa ini, bukan bangsa lain, terutama berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, adat istiadat, dan moral. Semuanya harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sebagai  ideologi negara dan UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi nasional. Faktanya, KUHP baru yang sudah berupaya menampung aspirasi para pihak ternyata masih mengandung kelemahan dan diprotes banyak pihak juga. Tentunya harus diperhatikan apa pihak yang kontra tersebut sudah pernah diajak diskusi? Atau memang penyusunan KUHP ini hanya menampung sebagian pihak saja dan cenderung eksklusif? Perlu dicarikan solusinya dengan kembali membuka ruang diskusi seluas-luasnya demi kemajuan penegakan hukum di Indonesia

(sumber: kalbar.kemenkumham.go.id, suaradewata.com, cnnindonesia.com, dan pendapat pribadi penulis).

Sumber: Media Sosial Yasonna Laoly


Demikian artikel saya, silakan mampir juga ke blog saya yang kedua (tentang kesehatan dan kemanusiaan, full text english), ketiga (tentang masalah dan solusi kelistrikan), serta keempat (tentang hewan peliharaan). Semoga bermanfaat. Terima kasih. Berikut link-nya: 

Kamis, 01 Desember 2022

Industri Sepak Bola: Kepentingan Ekonomi, Budaya, dan Politik

Turnamen sepak bola pria antar negara bergengsi dan terbesar di dunia, piala dunia, dari masa ke masa menjadi semacam pembuktian bahwa sepak bola memang sudah menjadi industri yang menggiurkan bagi banyak pihak. Begitupun Piala Dunia Qatar 2022 yang dimulai hari Minggu, 20 November 2022 dan berakhir bulan depan pada hari Minggu juga, 18 Desember 2022. Piala Dunia Qatar 2022 sendiri dinobatkan sebagai piala dunia termahal sepanjang sejarah dengan biaya pembangunan sekitar Rp. 3137 triliun, melebihi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Indonesia sebesar Rp. 3106 triliun. Bandingkan dengan biaya pembangunan piala dunia sebelumnya di Rusia (Rp. 172 triliun) dan Brasil (Rp. 235 miliar).  Yang menjadi pertanyaan, mengapa pemerintah setempat begitu jor-joran mengeluarkan biaya demi menjadi tuan rumah piala dunia? 

1. Ada gengsi sendiri untuk mengangkat citra negara yang menjadi tuan rumah di mata dunia. Mungkin tim nasionalnya bukanlah salah satu yang terbaik di dunia, namun dengan terangkatnya citra negara di mata internasional dengan menjadi tuan rumah yang baik dan memiliki value, setidaknya membuat negara lain pun respek dan mungkin ingin bekerja sama lintas sektoral

2. Ada perputaran ekonomi yang sangat tinggi. Untuk menebus biaya pembangunan super mahal di Piala Dunia Qatar 2022, kabarnya tiket pertandingan menjadi yang termahal dalam sejarah piala dunia, mulai dari Rp. 1 juta - 24 juta, tergantung dari kelas dan babak pertandingan. Tentunya babak final menjadi yang termahal. Harapannya akan ada timbal balik berupa keuntungan yang sangat besar nantinya. Bahkan, sektor pariwisata dan properti di negara tetangga, Uni Emirat Arab, tepatnya Dubai, ikut meningkat akibat gelaran Piala Dunia ini

3. Membuka lapangan pekerjaan bagi orang banyak dan lahan bisnis yang menggiurkan mulai dari sektor pembangunan, merchandise, jersei, kuliner, penginapan, pengurusan taman, transportasi umum, tempat wisata, teknologi informasi, sampai siaran televisi. Untuk anggaran untuk kompensasi kecelakaan kerja pun disediakan oleh Qatar sebesar Rp. 5,5 triliun

4. Sepak bola diakui sebagai bagian dari dunia hiburan. Seperti halnya artis, semakin disukai pasar, terutama pasar internasional (umumnya karena prestasi dan tampang juga), maka semakin tenar orang tersebut dan tentu saja berbanding lurus dengan penghasilan yang didapat. Kehidupan pribadinya pun menjadi ladang rezeki juga. Ketika sang pemain mega bintang memperkuat klub maupun tim nasional, maka ada kebanggan tersendiri dan ikut kecipratan rezeki bagi orang sekitarnya. Belum lagi kota dan negara asalnya, menganggap sang mega bintang sebagai pahlawan nasional yang dibanggakan rakyatnya. Qatar pun mencoba memanfaatkan hal tersebut


Ketika sepak bola kian tumbuh menjadi industri, berbagai kekuatan dan kepentingan mulai memasuki ranah ini. Industri sepak bola tidak hanya menjanjikan dari sektor ekonomi dan ketenaran, tapi juga dari sisi budaya dan politik. Ini yang harus dikelola agar bisa saling melengkapi dan tidak merugikan pihak lain. Contoh tragedi Kanjuruhan yang menjadi sorotan dunia, demi cuan dan kepentingan bisnis yang hanya dinikmati kelompok tertentu, malah mengesampingkan sisi kemanusiaan. Siaran televisi yang dianggap terlalu malam menjanjikan rating tinggi dan keuntungan luar biasa, serta penjualan tiket melebihi kapasitas stadion justru mengabaikan keamanan dan keselamatan bersama. Niat hati mendapat keuntungan besar, malah banyak korban jiwa berjatuhan dan kerugian yang jauh lebih besarlah yang diperoleh, serta apes buat pelaku menjadi tersangka dengan ancaman hukuman berat. Tentunya harus ada etika bisnis yang dipatuhi dan aspirasi para pemangku kepentingan yang harus didengar. Memang itu menjadi salah satu penyebab terjadi tragedi mengerikan, belum lagi kesalahan ada di pihak oknum pihak keamanan dan oknum suporter itu sendiri. 


Sepak bola juga tidak lepas dari budaya. Ini terlihat bagaimana setiap tuan rumah dalam suatu turnamen internasional selalu berupaya memperkenalkan unsur kearifan lokal sebagai identitas bangsa kepada dunia melalui maskot, jersei, merchandise, arsitektur stadion, busana, kuliner, lagu nasional, soundtrack resmi,  kesenian, selebrasi dan tarian, transportasi umum, sampai tempat wisata. Tidak hanya itu, karakter dan keunikan tim nasional berikut tingkah laku serta yel-yel suporter menjadi bagian dari budaya itu sendiri. Dengan demikian, kearifan lokal tersebut dapat menumbuhkan nasionalisme juga. Sedangkan untuk kompetisi di level klub dalam negeri sekalipun, ada unsur kedaerahan yang ditonjolkan oleh klub berikut suporternya. Namun, hal tersebut menjadi berbahaya ketika memasukkan fanatisme sempit sebagai budaya, terlalu membanggakan daerahnya sendiri, menjelek-jelekan daerah rival, dan tim harus selalu menang dari rival. Dalam kondisi fanatisme sempit, ketika tim menderita kekalahan di kandang sendiri dari tim rival, maka suporter merasa harga dirinya terinjak dan memicu konflik. Awalnya menjadi mengidolakan pemain, berubah seketika menjadi haters. Fanatisme boleh, asalkan wajar, tidak berlebihan, sportif, dan respek terhadap lawan. Jangan sampai melebar ke masalah lain, seperti diskriminasi dan rasisme. Perlu edukasi dan sosialisasi juga tentunya. Ini juga menjadi tanggung jawab federasi untuk mengatasi fanatisme berlebihan.


Untuk kepentingan politik, kita ingat dulu ada seseorang pihak dari militer yang begitu ambisius dan berhasil menjadi Ketua Umum PSSI, federasi sepak bola tertinggi di Indonesia, ternyata menjadi batu loncatan dalam pemilihan kepala daerah dan akhirnya berhasil menjadi kepala daerah. Ketika menduduki Ketua Umum PSSI, menjadi kesempatan untuk membangun koneksi dan power, terutama kepada pihak yang sekiranya bisa mendukung karier politiknya ke depan. Di samping itu juga mencari dukungan dan simpati kepada masyarakat. Kepopuleran pun cepat naik. Langkah tersebut dinilai lebih efektif dan efisien daripada berkampanye langsung misalnya. Sebenarnya langkah tersebut sah-sah saja karena tidak ada aturan hukum yang dilanggar. Toh, ketika berhasil menjadi kepala daerah, secara otomatis mundur dari Ketua Umum PSSI. Hanya saja masyarakat bisa menilai sendiri apakah itu etis atau tidak, apa memang berkontribusi terhadap sepak bola nasional atau tidak?


Contoh kepentingan politik yang lebih ekstrem, dulu pemimpin politik fasis seperti Hilter dan Mussolini telah lama menyadari kekuatan emosional dan propaganda dari sepak bola dan piala dunia. Mereka menjadikan hal tersebut sebagai bagian dari strategi kepemimpinannya agar bisa bertahan. Piala dunia misalnya adalah salah satu sisi dari jalan mobilisasi nasionalis yang masif, ketika imajinasi kesadaran identitas kebangsaan bisa dieksploitasi untuk mencapai tujuan-tujuan yang tidak sejalan dengan sportivitas yang dibangun dari kompetisi olahraga. 


Banyak hal di dunia sepak bola yang rentan dikaitkan-kaitkan dengan politik, misal:

1. Pemisahan negara seperti Serbia dan Montenegro

2. Asal usul pemain naturalisasi yang bisa diperebutkan beberapa negara

3. Karier pesepakbola maupun pelatih di luar negeri yang terhambat akibat negara kelahirannya terlibat kejahatan perang, investor pun terkena dampaknya juga. Puncaknya, federasi sepak bolanya dibekukan dan berakibat tim nasionalnya dilarang bertanding di setiap pertandingan resmi FIFA

4. Pemilihan tuan rumah suatu kejuaraan/turnamen internasional, baik level klub maupun tim nasional

5. Pengurus klub yang merangkap jabatan menjadi pengurus federasi/liga, bahkan sebagai pengurus partai politik juga. 


Sepak bola itu pada hakikatnya:

1. Menyatukan kemanusiaan di tengah kesibukan, perbedaan, dan permusuhan

2. Mengajarkan sportivitas

3. Hiburan rakyat ketika sudah jenuh dan disibukkan dengan rutinitas sehari-hari


Jangan sampai masalah serius seperti fanatisme sempit, diskriminasi, dan rasisme (biasanya pihak yang kecewa berlebihan timnya kalah) dipolitisasi sedemikian rupa untuk kepentingan tertentu. Akibatnya, sepak bola bukan lagi milik rakyat jelata, melainkan milik kelompok yang memiliki power. Jika itu yang terjadi, jangankan penonton dan suporter, para pemain dan ofisial pun akan protes dan mogok bertanding.


Intinya, jika sepak bola (dan seluruh cabang olahraga lain juga) terlalu dicampuri urusan politik kaum elite dan terlalu mengutamakan bisnis semata, maka hakikat utama sepak bola tidak akan tercapai dan yang akan muncul adalah konflik yang tidak berkesudahan.

(sumber: Koran Kompas tanggal 19 & 20 November 2022, serta Pendapat Pribadi Penulis)

Kiri: Casper. Kanan: Casper Hijrah👻.

La'eeb (Kanan), Maskot Piala Dunia Qatar 2022. Sepak Bola sudah Menjadi Industri, seperti Piala Dunia Qatar 2022. Sumber Gambar: Beritabicara.com.
  
 
Demikian artikel saya, silakan mampir juga ke blog saya yang kedua (tentang kesehatan dan kemanusiaan, full text english), ketiga (tentang masalah dan solusi kelistrikan), serta keempat (tentang hewan peliharaan). Semoga bermanfaat. Terima kasih. Berikut link-nya: 

Timnas Indonesia U-23 Menorehkan Sejarah Baru di Piala Asia U-23 2024

Tim nasional (timnas) sepak bola putra Indonesia level kelompok umur under 23 years old (U-23) berhasil menciptakan sejarah baru di Piala As...