All about Innovation💡, Law⚖️, Management📝, & Soccer⚽: April 2019

IWA

Kamis, 18 April 2019

Harapan akan Inovasi yang Lebih dalam Pemilu di Indonesia

Pada dasarnya, pemilihan umum (pemilu) di Indonesia sudah mulai berinovasi (mengaplikasikan ide-ide baru ke publik). Salah satunya dengan hadirnya pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) serentak. Tujuannya antara lain untuk menghemat anggaran (walau tetap dirasa masih mahal) dan meningkatkan partisipasi warga setempat agar tidak jenuh akibat baru saja pemilu kok sudah pemilu lagi. Misal saat pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) baru saja memilih calon walikota eh beberapa bulan kemudian harus memilih lagi calon gubernur, itu kan tidak efektif, kenapa tidak dibarengkan saja. Atau pemilihan kepala daerah di hampir semua daerah di Jawa Barat sebelumnya berlangsung sendiri-sendiri dengan jadwal yang berbeda-beda, kini dibuat bersamaan jadwalnya.

Inovasi lainnya adalah hajatan yang lebih besar yaitu pada pemilu 2019. Pemilu tersebut untuk pertama kalinya dilakukan secara serentak karena  tidak hanya memilih calon presiden dan calon wakil presiden saja, tapi juga calon anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan DPD. Intinya, menggabungkan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) dalam satu hari. Tapi, tetap saja biaya tinggi dan kecenderungannya naik dari tahun ke tahun. Dikutip dari tirto.id, anggaran pemerintah untuk pemilu 2019 adalah sekitar Rp. 24 triliun, jauh meningkat daripada pilpres 2014 Rp. 16 triliun. Apa tidak membebani keuangan negara, kan lebih baik digunakan untuk pos yang lebih mendesak. Belum lagi bagi caleg dgn modal hasil ngutang lalu kalah (kalau yg menang sih tenang bisa balik modal) rentan stres, depresi & jatuh sakit akibat menanggung malu dan harus membayar utang utk modal nyaleg😱. Tentunya ongkos mahal politik harus ditekan seminimal mungkin, salah satunya dengan inovasi.

Inovasi pemilu yang dilakukan oleh pihak yang berwenang (seperti pemilu serentak) dirasa masih kurang dan harus ditingkatkan lagi, sehingga ujungnya dapat menghemat anggaran, meningkatkan partisipasi warga, dan menguntungkan semua pihak. Tapi memang, untuk melakukan inovasi itu membutuhkan biaya yang mahal, tapi nantinya untuk bersifat jangka panjang diharapkan dapat menghemat anggaran dan mengurangi pemborosan lainnya. Lalu, bagaimana inovasi yg bisa diterapkan pada pemilu berikutnya?

1. Surat suara diganti dalam bentuk digital
Pemilih tetap diwajibkan datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dengan membawa bukti yang diperlukan, namun mulai dari mendaftar sampai dengan memilih dilakukan secara digital (cukup klik) di bilik suara yang sudah dilengkapi perangkat komputer (atau minimal tablet jika khawatir listrik bermasalah/aliran listrik saat menggunakan perangkat komputer). Hal ini bisa menekan anggaran, mulai dari menghilangkan ketergantungan penggunaan kertas (berarti lebih ramah lingkungan), mengurangi daftar antrean, serta nantinya memudahkan kerja Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) saat perhitungan suara. Tidak perlu rekapitulasi perolehan suara secara manual, tapi cukup menggunakan e-rekapitulasi yang hemat waktu dan biaya. Tidak perlu penjagaan kotak suara, tapi cukup pengawasan terhadap keamanan dan kualitas perangkat IT-nya. Kendala terberat mungkin teknologi informasi (termasuk internet) belum menjangkau daerah-daerah terpencil. Mau tidak mau warga di daerah terpencil tsb harus diantar jemput ke daerah yang sudah dijangkau oleh teknologi informasi. Sejauh ini, baru Brazil dan India yg benar2 berhasil menerapkan e-voting, sehingga Indonesia bisa belajar & melakukan ATM (Amati, Tiru, Modifikasi).

Agar teknologi pemungutan suara (e-voting) & rekapitulasi perolehan suara (e-rekapitulasi) bisa segera dilaksanakan di Indonesia, di samping anggaran yang perlu disiapkan, juga paling mendasar adalah Undang-Undang Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2017 harus direvisi terlebih dahulu, karena masih menganut sistem manual.

e-voting. Sumber: wartakota.tribunnews.com

2. Mengakomodir pemilih difabel
Pemilu wajib mengakomodir pemilih difabel sebagai bagian dari Warga Negara Indonesia. Mereka memiliki hak suara yang sama dengan pemilih pada umumnya. Surat suara yang digunakan tentunya adalah surat suara braille. Namun, pada pemilu 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU) hanya bisa menyediakan surat suara braille untuk pilpres dan DPD mengingat keterbatasan anggaran. Sedangkan, surat suara braille untuk daftar caleg belum tersedia. Untuk mengatasinya, alangkah lebih baiknya jika dibuat versi digitalnya. Pemilih difabel dituntut untuk mempelajari teknologi yang sebenarnya lebih praktis daripada harus menggunakan kertas manual.

3. Tingkatkan TPS tematik
Di beberapa daerah,  Tempat Pemungutan Suara (TPS) tematik/berkonsep unik dinilai efektif meningkatkan partisipasi warga. Warga dibuat penasaran dengan TPS yang berbeda dari TPS pada umumnya. Bentuk promosinya cukup dari mulut ke mulut. Mereka yang sudah datang ke TPS tentunya akan dengan senang hati menceritakan pengalaman barunya kepada tetangganya yang belum mencoblos. Tetangga tersebut yang awalnya enggan mencoblos pun dibuat penasaran akhirnya datang ke TPS dan sekalian mencoblos😜. Kalau dalam manajemen, itu yang namanya first impression. Kesan pertama yang menggoda membuat orang yang tidak tertarik menjadi tertarik.

Contoh TPS tematik saat pemilu 2019:
a. TPS Rutan Pondok Bambu Jakarta Timur bertema sawah dan dapur. Di TPS 193, petugas menggunakan pakaian ala petani (pakaian hitam dan topi caping). Sementara di TPS 194, petugas menggunakan pakaian koki serba pink (sumber: liputan6.com)

b. Sekitar 18 TPS di Depok bertema budaya dan menjemput warga menggunakan odong-odong. Petugasnya pun menggunakan atribut daerah (sumber: www.merdeka.com)

c. Kedai Kopi Abraham & Smith jadi TPS 02 dadakan di Jalan Tamblong Dalam, Kelurahan Kebon Pisang, Bandung. Bahkan, owner-nya juga menyediakan 500 gelas kopi dari berbagai jenis menu kopi plus batagor gratis untuk dibagikan kepada masyarakat sekitar yg mencoblos di TPS 02 (sumber: nasional.repblika.co.id)
ke TPS Sambil Ngopi & Ngemil Batagor Gratis. Sumber: www. ayobandung.com
Saya pernah membaca, kalau anggaran pembuatan TPS tematik ini berasal dari swadaya masyarakat. Jika hanya mengandalkan anggaran pemerintah jelas tidak cukup, suatu langkah yg kreatif dan inovatif👍. Kalau dilihat segmennya, keberadaan TPS tematik tersebut menyasar kaum milenial. Ke depannya, alangkah lebih baiknya jika dalam setiap penyelenggaraan pemilu, keberadaan TPS tematik tersebut ditingkatkan dengan tema memperhatikan sesuatu yg sedang viral dan dikombinasikan dengan kearifan lokal. Misal: ada TPS yg menyediakan gim lokal virtual reality yang berkaitan dengan pemilu dan jg permainan tradisional, petugas berpakaian pahlawan nasional, dan sebagainya. Pokoknya bagaimana TPS dibuat pikabetaheun seperti halnya mal sekaligus mengedukasi juga.

Bagi KPU, alangkah lebih baiknya, jika keberadaan TPS tematik tsb lebih dihargai dan bahkan  dilombakan, pemenangnya mendapatkan hadiah yang menarik, di samping tentu saja fotonya di-posting di website/akun medsos KPU, dan diundang ke KPU+Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) misalnya.
 
4. Transparansi dalam pemilu
Selama ini kita selalu dibuat penasaran tentang proses rekapitulasi suara yang dilakukan KPU. Transparansi dalam pemilu melalui sarana teknologi informasi dinilai masih kurang, hanya mengandalkan berita dari media saja. Padahal, melalui teknologi informasi inilah transparansi dapat lebih terlihat dan juga sebagai sarana kontrol publik terhadap kinerja KPU. Langkah tsb harus dilakukan untuk mempersempit ruang gerak hacker jahat (cracker) yang berniat jahat meretas website KPU untuk kepentingan pribadi, bahkan bisa saja menambah perolehan suara secara ilegal😱. Lalu, perlu dijabarkan juga bagaimana kredibilitas lembaga-lembaga survei yang sering bermunculan saat pemilu, saya kira KPU juga berwenang untuk menjabarkannya, sehingga tidak membuat bingung publik. Justru, keberadaan lembaga-lembaga survei yang kredibel bisa memperkuat kinerja KPU. Sementara, untuk keberadaan lembaga survei yang abal-abal harus segera ditindak dan diproses menurut hukum yang berlaku dengan melibatkan aparat penegak hukum. Karena dengan membiarkannya, sama saja ikut mendiamkan penyebaran hoaks. Dengan transparansi yang jelas dan ketegasan yang bijak, KPU akan semakin kredibel dan terhindar dari kecurigaan para peserta pemilu (terutama yang kalah).

Sumber: Akun Ig @TanYoana

5. Admin akun medsos resmi KPU harus lebih responsif
Selama ini banyak netizen yang mengeluh jika admin KPU selalu rajin mem-posting foto/video/informasi tapi tidak pernah menanggapi komentar, pujian, saran, maupun keluhan netizen. Kalau tidak percaya, silakan cek akun instagram resmi KPU (@kpu_ri).

Hal tersebut memunculkan anggapan bahwa pekerjaan admin akun medsos KPU seperti robot saja, sekedar menunggu perintah atasan untuk mem-posting foto/video/informasi. Tentunya bentuk komunikasi searah tersebut kurang baik, mengingat kinerja KPU perlu diawasi melalui kontrol publik yang membutuhkan komunikasi 2 arah, di antaranya melalui akun medsos resmi. Admin yang baik tidak ubahnya seperti customer service yang dengan senang hati menanggapi komentar, pujian, saran, maupun keluhan pelanggannya dengan baik. Tapi, pada dasarnya bukan hanya admin akun medsos resmi KPU saja, melainkan juga seluruh sumber daya manusia terkait dengan pemilu juga harus berinovasi mengikuti perkembangan zaman.

Di-update tgl 21 April 2019:
6. Perlunya evaluasi & inovasi sistem kerja KPPS
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyampaikan bahwa saat bertugas pada pemilu 2019, terdapat 14 orang anggota pengawas pemilu (trmsk KPPS) yg meninggal dunia, 85 orang dirawat inap di rumah sakit, 137 orang yang rawat jalan, 74 kecelakaan, & 15 orang mengalami tindak kekerasan (sumber: koran PR tgl 22 April 2019).  Data terakhir per tgl 22 April 2019 jam 15.00, langsung dari Ketua KPU, Arief Budiman, bahwa petugas yg meninggal dunia  (saat maupun setelah bertugas) meningkat drastis menjadi 91 orang & 374 sakit (sumber: liputan6.com). Ini menjadi rekor tersendiri (yang memprihatinkan) dibanding pemilu sebelumnya😱.

Mereka (korban yang meninggal dunia akibat bertugas mengawal pemilu) pantas menjadi pahlawan demokrasi & semoga mendapatkan husnul khatimah, serta yg sakit/luka-luka segera dipulihkan, sehingga dpt beraktivitas normal. Aamiin😇.

Namun, pada intinya bnyknya korban saat bertugas berawal dari kelelahan ditambah tekanan yang tinggi & durasi waktu kerja yang terbatas, sementara beban kerja bertambah karena mengurus pilpres & pileg secara bersamaan. Biasanya 1 surat suara, sekarang 5 surat suara. Otomatis, petugas tidak punya waktu untuk tidur yang menjadi hak setiap tubuh, sehingga tubuh rentan terkena penyakit, termasuk penyakit jantung. Dengan kondisi yang sudah lelah dan tidak bisa berkonsentrasi, kemungkinan untuk salah memasukkan data penting menjadi besar😱.

Kondisi tersebut memang tidak ideal & kurang manusiawi. Honor yang tidak seberapa (di bawah Rp. 600 ribu) tidak  sebanding dengan risiko kerja. Perlu evaluasi & inovasi sistem kerja KPPS (terutama saat menghadapi pemilu dengan skala nasional seperti pilpres yang digabung dengan pileg untuk pertama kalinya). Anggaran KPPS, jumlah petugas berikut honor, & durasi waktu  kerja (untuk jenis pekerjaan yg sama) wajib ditambah demi memanusiakan petugas KPPS. Petugas KPPS perlu dilindungi asuransi yg berkaitan dengan risiko pekerjaan & sistem keamanan yg memadai. Fasilitas untuk mendukung sistem kerja KPPS juga harus ditingkatkan, misal sistem teknologi informasinya, disediakan tempat kerja yang nyaman, fasilitas pijat refleksi dan tempat istirahat yang memadai, serta dokter yang standby tidak jauh dari lokasi kerja. Untuk perekrutan petugas KPPS ke depannya, faktor usia juga hrs diperhatikan. Rekrut petugas dgn usia muda, skill dan jam terbang yang mumpuni, kondisi badan yang fit, memiliki kemampuan untuk bekerja secara tim dan di bawah tekanan tinggi, serta memiliki jam terbang yang baik.

Mgkn, di zaman digital seperti saat ini, peran robot juga bisa dioptimalkan utk membantu kerja petugas. Ingat, tahun 2024 pemilu kemungkinan bakal lebih kompleks lagi dengan menyertakan 7 surat suara. Itu berarti tugas KPPS pun akan semakin berat ke depannya😱. KPU sebagai bos dari KPPS harus mulai memikirkan solusinya dari sekarang.

7. Perlunya evaluasi & inovasi sistem keamanan
Menurut data terbaru (22 April 2019) Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri), sebanyak 15 polisi gugur saat bertugas mengamankan pemilu 2019. Penyebabnya bermacam-macam, ada yang mengalami kecelakaan lalu lintas & sakit (sumber: detik.com). Di-update dari koran PR tgl 23 April 2019: tdk hny kepolisian yg berduka, tp jg organisasi Perlindungan Masyarakat (Linmas). Ada 2 petugas Linmas yang meninggal dunia, salah satunya diketahui mengalami perdarahan otak saat bertugas mengamankan pemilu 2019.

Melihat keprihatinan tersebut, lagi2 akar masalahnya sama dgn petugas KPPS, yaitu kelelahan. Mereka pantas menjadi pahlawan demokrasi & semoga korban yg gugur tsb mendapat husnul khotimah. Aamiin😇.

Perlu ada evaluasi & inovasi sistem keamanan, seperti seleksi khusus (terutama tes kesehatan) untuk polisi yang akan bertugas dalam mengamankan pemilu, adanya sistem shift yang lebih manusiawi, simulasi penguasaan medan jauh-jauh sebelumnya dengan melibatkan warga sekitar, selalu berkomunikasi & berkoordinasi dgn KPU, KPPS, & pihak terkait lainnya, reward yg lebih, dan sebagainya. Begitu pun bagi petugas Linmas, ada seleksi khusus juga, jumlah anggotanya wajib ditambah, reward yg lebih, ada sistem shift juga yang lebih manusiawi, dan sebagainya.

Sumber: https://me.me
Demikian artikel saya, memang inovasi pemilu dan biaya tinggi (saya belum dapat info rincian biayanya) selalu berkaitan erat, apalagi jika dihubungkan dengan inovasi teknologi. Namun, jika melihat target jangka panjang, justru hal tersebut harus dilakukan untuk menghemat anggaran dan memudahkan para pihak dalam bertindak, baik dari para peserta, pemilih, maupun KPU. Bagi peserta pemilu dan tim suksesnya, hal tersebut penting untuk memangkas biaya politik yang dianggap salah satu yang termahal di dunia (akibat jumlah penduduk yang bnyk & pulau-pulau yang tersebar di Indonesia). Mahalnya biaya politik bisa jadi penyebab utama suburnya Korupsi, Kolusi, & Nepotisme (KKN). Bagi para pemilih, tentunya inovasi tsb penting untuk meningkatkan partisipasi warga dalam pemilu dan mencegah golput (terutama dari kalangan milenial). Bagi KPU, inovasi penting untuk meningkatkan kredibilitas KPU di mata publik, meminimalisasi kecurangan, dan juga meningkatkan kinerja organisasi, tidak hanya untuk KPU, tapi juga anak buahnya seperti KPPS. Sementara bagi aparat keamanan, inovasi penting untuk menciptakan sistem keamanan yang lebih canggih tapi tetap manusiawi, terutama bagi petugas keamanan itu sendiri.

Silakan mampir juga ke blog saya yang kedua (tentang kesehatan dan kemanusiaan, full text english) dan ketiga (tentang masalah dan solusi kelistrikan). Semoga bermanfaat. Terima kasih. Berikut link-nya:
Blog 2: healthyhumanityvicagi.blogspot.com
Blog 3: listrikvic.blogspot.com

Manajemen Puasa Ramadan yang Menyenangkan

Seringkali kita mendengar istilah manajemen yang merupakan salah satu jurusan perkuliahan di fakultas ekonomi, tapi kurang paham apa defini...